Senin, 29 November 2010

TUHAN MENJAWABKU MELALUI SEMUT HITAM

      Suatu ketika aku pernah nonton film Amerika semacam film Titanic. Film tersebut mengisahkan kronologi terjadinya sebuah kecelakaan yang terjadi pada sebuah kapal di tengah lautan. Menyaksikan film tersebut bukan membuatku terhibur,akan tetapi malah membuatku sangat sedih dan ngeri. Aku tidak sanggup melanjutkannya sampai selesai... kemudian dengan amat sedih aku mengeluh pada Tuhan,"Ya Allah...bukankah Engkau menyaksikan semua kejadian yang menimpa setiap manusia ? Tidakkah Engkau merasa sedih dan perih melihat makhluk-makhluk ciptaanMu tak berdaya dalam kesedihan, ketakutan dan penderitaan yang tak terhingga? Mengapa Engkau tidak ulurkan tangan pada mereka ? Bukankah Engkau  kuasa melakukan itu ? Mengapa ya Alah... Engkau hanya diam...mengapa Tuhanku ? Tidakkah Engkau kasihan pada makhlauk-makhluk ciptaanMu sendiri . Bukankah Engkau Maha Pengasih dan Penyayang ? Sedangkan hamba yang tidak Maha saja tak tega menyaksikannya...."
Aku tak kuasa menahan sedih dan perih hatiku, mengingat nasib manusia yang mungkin dan bisa saja terjadi sewaktu-waktu pada setiap orang. Sedang Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang yang menyaksikannya, kenapa tidak mau menolong ?
       Waktu itu, aku yang masih kira-kira duduk di bangku SMP, dalam keluargaku mendapat pembagian tugas rumah tangga spesialisasi mencuci piring. Tidak berapa lama setelah menyampaikan keluhanku padaNya dan hatiku mulai agak mereda dari rasa sedih dan haru, aku pergi ke tempat pencucian piring. Aku bermaksud menyelesaikan tugas yang menjadi bagianku.
       Akan tetapi betapa terkejutnya aku setelah sampai di tempat pencucian piring. Aku terhenyak pada pemandangan yang ada di depanku. sebuah pemandangan yang membuatku heran, bercampur bingung. bagaimana tidak ? Ketika akan melaksanakan tugasku, aku mendapati piring dan peralatan makan kotor yang akan kucuci, ternyata telah tertutup semut hitam yang tak terhingga banyaknya. Rasanya aku belum pernah menemukan kumpulan semut hitam yang demikian banyaknya, apalagi pada peralatan makan yang biasa kucuci. Bahkan sampai kinipun, aku tidak lagi menemui kerumunan semut hitam yang demikian banyaknya mengerubungi sesuatu, apalagi hanya peralatan makan yang kotor. Aku jadi tak berdaya, aku tak mampu melakukan sesuatu, dilain pihak aku harus segera menyelesaikan tugasku, sedang di pihak lain, aku juga harus membereskan semut yang demikian banyaknya. Bagaimana caranya agar aku tidak membunuh semut-semut hitam, yang merupakan semut ramah tersebut ? Sulit...sungguh sebuah keputusan yang sulit. Seketika itu juga aku teringat protesku pada Tuhan. Aku jelas teringat ucapanku yang mengatakan , "Bukankah Engkau kuasa menolong mereka... tapi kenapa tidak Kau lakukan ?" Tiba-tiba aku merasa ini jawaban Allah atas pertanyaan serta keluhanku padaNya. Aku merasa Tuhan menjawabku lewat semut-semut yang ada dihadapanku. Kini aku ada pada pilihan yang amat sulit. Aku sebenarnya mampu saja menyelamatkan satu persatu semut-semut tersebut. Tapi akan makan waktu berapa lama ? Lalu kapan aku segera dapat menyelesaikan tugasku ? Akhirnya dengan amat berat hati, aku hanya mampu menyelamatkan sebagian semut saja, setelah lumayan kecapekan, akhirnya aku pasrah pada Allah SWT. Dengan terpaksa ku siram semut-semut itu dan tidak ketahuan nasibnya, apakah dapat menyelamatkan diri atau mati, aku memohon kasih sayang Tuhan pada semut-semut itu dengan mengucap, Bismillahirachmanirahiim... semoga Allah menyelamatkan atau mematikan semut-semut itu dengana kasih dan sayangnya. Saat itu juga aku sadar, aku ternyata juga tidak mampu melakukan sesuatu yang sebenarnya mampu kulakukan, karena sesuatu hal yang lebih penting yang harus aku selesaikan. Aku hanya bisa menuntut, sedang aku sendiri belum tentu mampu melaksanakannya. Aku juga berpikir, selama ini aku mungkin juga tanpa kusadari telah membunuh satu atau dua semut yang menempel pada peralatan makan kotor yang kucuci, tapi karena hanya satu atau dua, aku mungkin malah meremehkan dan mengabaikannya. Dengan kejadian itu, banyak hikmah yang kuambil. Sampai kini, setiap kali terpaksa aku harus menyiram semut-semut dengan air saat akan mencuci piring, aku memohon ampun pada Allah, dan berdo'a semoga Allah menolong semut-semut tersebut dengan caraNya. Aku merasa Allah menyadarkanku dengan cara sederhana yang dapat kumengerti dengan mudah.....  

Sabtu, 27 November 2010

MENCARI SYUKUR


         
     
       Pak Wagiman tersentak kaget ketika namanya tidak tercantum dalam daftar kepala sekolah yang lolos test. Ia sempat agak shock. Pasalnya, pak wagiman sudah terlanjur merasa dirinyalah salah seorang guru yang pantas untuk diangkat menjadi kepala sekolah. Wajar…selama ini ia sudah mengantongi beberapa penghargaan seperti menjadi guru teladan tingkat kabupaten, guru berprestasi nomer 1 tingkat kabupaten, kemudian sederetan prestasi sebagai pengurus berbagai macam organisasi, baik itu organisasi sosial, maupun dalam bidang pendidikan sendiri. eh… tapi kok malah ia tidak masuk dalam daftar angkatan kepala sekolah ? malahan…masyaAllah… pak Badri, salah seorang rekan guru dari sekolah lain yang pernah mendapat kasus, karena di demo murid-murid, akibat seringnya tidak mengajar di kelas, tapi begitu masuk, hanya melakukan tekanan-tekanan pada siswa, eh…malah lolos dari seleksi pengangkatan kepala sekolah. Sungguh tidak adil ! Negara ini sudah bobrok, hingga memberi kewenangan pada seseorang saja, bukan atas dasar pertimbangan prestasi kerja, kecakapan, kreatifitas, moralitas, namun atas dasar ‘sak karepku to!’. Maklum…yang bagian nyaring dulunya paling-paling juga menduduki posisi tersebut, juga hasil dari ‘sak karepku to!’….
Sakiit…sekali hati pak Wagiman menerima kenyataan yang menzalimi keadilan ini…
‘Gila…gila…siapa yang dapat memperjuangkan kebenaran di negeri ini. Negaraku telah dikuasai oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Kebenaran dan keadilan sudah tidak ada artinya di negeri ini…’
Semalaman pak Wagiman tidak dapat memejamkan mata. Hatinya gundah dan amat sangat kecewa.
“Mungkin seharusnya aku tidak terlalu idealis. Aku bisa merebut jabatan itu dengan uang. Toh aku tidak terlalu salah, aku juga berkompeten di bidangku. Aku bukan tidak punya potensi apa-apa. Tapi aku memang layak untuk menduduki posisi tersebut. Daripada pak Badri, aku tidak sombong , dari segi apapun, aku menang. Paling-paling dia bisa lolos,juga lewat ‘jalan belakang’. Tidak mungkinlah rasanya …kalau mau sama-sama fair, dia bisa lolos, sedang aku tidak. Ah… aku menyesal, seharusnya aku lebih memperjuangkannya. Aku terlalu percaya pada kejujuran….”
“Tapi tidak…” Tiba-tiba pak Wagiman membantah sendiri pernyataan dalam hatinya tersebut….
“Itu cara tidak benar dan tidak adil. Walau aku memang pantas menjadi pemimpin, tapi aku tidak harus menggunakan cara yang tidak benar dan tidak adil untuk meraihnya. Aku tidak boleh ikut-ikutan memupuk keserakahan orang-orang yang berwenang dengan ambisiku. Bukankah selama ini aku telah berjalan pada ‘rel’ yang semestinya? Kenapa hanya karena sebuah jabatan, aku akan melenceng dari petunjukNya selama ini…. ?”
Begitulah perang batin yang ada dalam diri pak Wagiman, antara menginginkan sebuah jabatan yang lebih tinggi, malu dan tidak terima terkalahkan sesama teman yang sebenarnya tidak sehebat dirinya, keinginan untuk mendapatkan tunjangan lebih, keinginan baik untuk bisa menata dunia pendidikan sekolah di lingkup yang kecil, dan antara penyesalan mengapa tidak memperjuangkan lewat jalan belakang, sebagaimana banyak orang telah melakukannya. Selama ini ia tidak pernah mengikuti saran seorang teman yang telah jadi kepala sekolah agar mengambil ‘jalan belakang’. Walaupun ia telah memiliki banyak prestasi serta memiliki kecakapan dan kemampuan dalam memimpin, ia bisa tersingkir oleh peserta lain yang mengunggulinya dengan uang. Memang benar tidak semua peserta lolos , karena ‘uang’, ada juga yang lolos murni , karena prestasi. Akan tetapi ada kemudian yang mengambil ‘jalan belakang’…bisa-bisa ada yang sebenarnya lolos…malah jadi korban…
“Prestasimu itu akan tidak ada artinya, kalau ada uang yang bisa mengalahkanmu…”begitu temannya tersebut pernah mengingatkannya.
“Ah…aku masih percaya ada kejujuran diantara tim penilai itu, “ begitu jawabnya saat itu dengan penuh percaya diri. Namun jika akhirnya kenyataannya seperti itu…imannya bisa goyah juga….ia merasa telah terzalimi….
Hari itu pak Wagiman terasa linglung, semangat hidupnya seakan hilang. Makan tak enak, tidurpun tak nyenyak. Mimpipun…juga hanya mimpi buruk yang nongol…
“Pak…sudahlah…tidak usah terlalu disesali. Ibu percaya kalau bapak memang lebih pantas untuk menduduki jabatan itu. Tapi…mungkin ini sudah takdir, pak. Tidak boleh terlalu disesali…” begitu istrinya mencoba menenangkannya, ketika dilihatnya sang suami tampak ‘shock’ seakan kehilangan gairah hidup…
“takdir…takdir…tapi ‘kan kita juga diwajibkan berusaha…?”
“Bapak ‘kan sudah berusaha…aku lihat sendiri bagaimana perjuangan bapak menyiapkan diri menghadapi test pengangkataaan itu. Bapak menulis sendiri karya tulisnya. Orang lain, belum tentu hasil karya mereka sendiri. Berarti usaha bapak sudah maksimal…”
“Itulah yang kusesali…seharusnya aku tidak terlalu mempercayai kejujuran, seharusnya aku berusaha lewat jalan lain… aku menyesal…aku telah dikecewakan… aku tidak peduli lagi jalan apa yang seharusnya kutempuh…” karena kesal, kecewa, bercampur marah, membuat pak Wagiman seakan mulai kehilangan akal sehat serta prinsip positifnya selama ini…
“MasyaAllah, Pak ! bapak selama ini aku kagumi sebagai seorang pegawai negeri yang jujur, amanah dan berpotensi tinggi. Tapi karena menginginkan sebuah jabatan, bapak berubah menjadi orang lain di mataku. Masya Allah…istigfar, pak…walaupun bapak terjebak dalam lingkaran birokrasi yang rusak, tidak seharusnya kemudian kita ikut-ikutan ‘nyemplung jurang’!” Bu Wagiman tak sanggup menahan kesedihannya, melihat penyesalan pak Wagiman yang begitu dalam, sampai-sampai suami yang selama ini dikagumi karena kuatnya menjaga prinsip kebenaran, hampir terpuruk menanggalkan keimanannya, demi sebuah persaingan meraih sebuah jabatan yang lebih tinggi…
“Sudahlah, Pak. Untuk menenangkan pikiran bapak, bersilarurahmilah ke sahabat-sahabat bapak yang selama ini bapak percaya dapat membantu meringankan beban pikiran yang sekarang ini sedang bapak alami…
Ya…saran istrinya mungkin benar. Dengan bertemu teman-teman yang selama ini baik, siapa tahu hal tersebut dapat sedikit memberinya solusi atas masalah yang sedang dihadapinya…
Hari itu pak Wagiman berangkat dengan sepeda motornya menuju rumah salah seorang sahabatnya, pak Andri.
Pak Andri adalah seorang pengusaha ikan lele yang cukup sukses. Pak Andri dulu adalah siswa yang cukup pintar dan aktif di kelasnya. Dia selalu menduduki peringkat-peringkat atas. Pak Andri yang peringkat pertama, pak Wagiman peringkat kedua, kalau pak Wagiman yang peringkat pertama, pak Andri yang peringkat kedua…begitu mereka dulu kejar-mengejar prestasi di kelas…
Sebenarnya pak Andri juga pernah berkali-kali mengikuti penerimaaan CPNS, tapi selalu gagal. Apalagi ijasahnya hanya SMA. Akhirnya dia menyerah dan tidak lagi berminat menjadi pegawai negeri. Dia kemudian memilih belajar beternak lele dari seorang peternak lele yang sukses… dan akhirnya iapun mencoba bergerak dalam bidang tersebut, alhamdulillah berkat ketekunan dan kesabaranya, ia dapat menggantungkan hidup dari beternak lele dan budidaya beberapa tanaman obat. Pak wagiman dalam mengikuti test CPNS jauh lebih beruntung. Dia hanya mencoba mengikuti test dua kali, langsung diterima. Alhamdulillah waktu pak Wagiman mengikuti test tersebut, instansinya sedang dipimpin oleh seorang pemimpin yang jujur dan amanah, sehingga dia dapat diterima menjadi CPNS dengan murni berbekal kemampuan dan prestasi…
“He…apa kabar, Man.. tumben ingat lagi sama teman. Kemana saja akhir-akhir ini tidak pernah muncul…” sambut pak Andri begitu melihat kedatangan sahabat lamanya itu…
“Eh…baik…ya…aku kangen sama kamu. Aku ingat gayamu kalau lagi ‘eyel-eyelan’ sama aku…”
“Ha…ha..ha… ada-ada saja kamu. Ayo… silakan duduk!”
“Ah.. senang ya kamu…sudah sukses…”
“Ah…’kan lebih enak kamu. Pegawai negeri. Kerjanya santai..gajinya..tiap tahun selalu naik…tiap bulan, juga pasti ada yang bisa diandalkan…”
“Eh…bukannya malah kamu yang lebih enak…uang datang tidak mengenal tanggal. Kalau seperti aku ini…senangnya kalau pas tanggal muda…”
“Ha..ha..ha… aku saja pernah pengin seperti kamu…eh.. nggak kesampaian… tes bolak-balik… selalu gagal…kok kamu yang sudah lolos malah berkata seperti itu ?” kelakar pak Andri.
“Ndri, aku kemari , karena lagi ada masalah…”
“Eh…giliran ada masalah…baru mau kemari…” Pak Andri masih menanggapinya secara kelakar…
“Benar, aku lagi sedih. Aku temui kamu, karena aku percaya, kamu salah seorang temanku yang paling enak diajak curhat!”
“Ada apa sih, Man ? ‘kan kamu sudah memiliki semua,…lengkap…mapan…anak cakep-cakep, sehat, piter-pinter, semua dapat kuliah di perguruan tinggi favorit. Istri baik dan setia…apalagi ?”
“Jangan begitu, setiap orang pasti memiliki masalah. Dan masalahku kali ini kurasa cukup berat….”
“Hmm…apa masalahnya ?!”
“Mungkin kamu tidak tahu kalau beberapa waktu lalu aku mengikuti test pengangkatan kepala sekolah. Aku telah melalui prosedur yang benar. Bahkan nggak sombong, diantara peserta yang ikut test waktu itu, akulah yang memiliki prestasi terbanyak. Aku sudah merasa begitu optimis, bahwa aku akan termasuk menjadi salah satu guru yang akan diangkat menjadi kepala sekolah. Tapi nyatanya…aku gagal. Rasanya shock sekali, apalagi ketika aku tahu, ada salah seorang guru yang selama ini prestasinya cukup buruk, malah lolos…coba bayangkan…betapa terpukulnya aku menerima kenyataan itu…” Pak Wagiman seakan tidak kuat untuk kembali mengingat permasalahannya…
“Ehm…ya..ya…aku percayaa..aku sangat mengenal kamu dengan baik. Tapi…bersabarlah menerima kenyataan ini, karena segala sesuatu tidak akan terjadi, tanpa ada ijin dari Allah. Mungkin Dia sedang menguji kekuatan imanmu. Sabarlah…semua ini pasti ada hikmahnya…”
Pak Wagiman menghela nafas panjang. “Gampang memang berkata begitu. Tapi coba kalau kejadian itu menimpa diri sendiri, belum tentu juga semudah itu menghadapinya…” begitu pikirnya…
“Ya sudah…kalau begitu agar kamu lebih bisa menerima kegagalanmu, temuilah orang-orang yang kamu rasa lebih kurang beruntung dibanding kamu.” Begitulah akhirnya saran pak Andri pada pak Wagiman setelah berbagai masukan ia coba berikan, tapi tampaknya sahabat lamanya itu belum juga bisa menerimanya…
Pak Wagiman setuju dengan saran temannya tersebut. Tapi kepada siapa ia akan mencoba temui ? Ah… ia ingat …ia pernah mengenal seorang kuli bangunan yang bekerja padanya. Laki-laki itu menurutnya cukup hebat. Seorang kuli bangunan yang menderita sakit sesak nafas yang dapat kambuh sewaktu-waktu, tapi tetap saja dapat bekerja berat mulai pagi sampai sore, tanpa mengenal lelah. Hebatnya lagi, pernah ia bekerja pada pak Wagiman di bulan Ramadhan. Laki-laki itu ternyata juga tetap ikut puasa Ramadhan, walaupun pekerjaannya sangat berat, di bawah terik matahari yang membakar, yang sanggup menghanguskan kerongkongan. Mereka yang tidak terus menerus di bawah terik matahari saja tak kuasa menahan dahaga, coba bayangkan…luar biasa…puasa pak Bejo sungguh jauh lebih berat daripada puasanya mereka-mereka yang bekerja di tempat teduh..apalagi ditambah AC lagi…
“Wah…wah…laki-laki langka di jaman ini. Disaat manusia-manusia lain pada manja, berpacu memperebutkan surga dunia dan akherat sekaligus, pak Bejo, tidak mau enaknya sendiri. Dia rela melepaskan keindahan dan kebahagiaan duniawi, karena takut dan tunduknya pada sang Pencipta. Kalau tidak takut dan tunduk pada Allah, untuk apa harus repot-repot menahan haus dan lapar yang melemahkan tubuh dan tulang, wong tanpa puasa saja hidup sudah banyak beratnya. Lagipula yang menganugerahinya profesi tersebut juga Tuhan. Kalau mau protes…untuk apa orang lain yang ongkang-ongkang enak enakan itu diwajiban puasa…sedang ia yang sehari-hari sudah menghadapi hidup yang berat dan sudah terbiasa menahan haus dan lapar juga harus diwajibkan puasa ?!!
“Gila..aku harus berguru pengalaman pada pak Bejo. Ia adalah salah seorang yang memiliki kekuatan luar biasa dalam menghadapi kerasnya hidup. Walau secara pendidikan formal dia tidaklah memiliki ijasah apalagi gelar apapun, tapi dia memiliki kepintaran dari sisi tertentu yang belum tentu dimiliki oleh orang-orang pintar dan terhormat di negeri ini…” begitu pak Wagiman berpikir dalam hati. “Aku harus menemuinya, siapa tahu ia dapat memberiku pelajaran yang dapat kuambil hikmahnya!”
Hari itu pergilah pak Wagiman mencari pak Bejo. Seorang kuli bangunan yang pernah ikut membantu membangun rumahnya.
“Lho, pak Wagiman, ada apa, Pak ?” Pak Bejo tampak kaget melihat kedatangan pak Wagiman. Pak Wagiman selama ini tidak pernah datang ke rumahnya. Kalau ada perlu untuk memperbaiki rumah, pak Wagiman tidak langsung menemuinya, tapi ke tukang dulu. Si tukang baru kemudian yang menghubunginya. Kok hari itu tumben sekali, pak Wagiman langsung datang ke rumahnya..
“Hanya ingin silaturahmi saja kok, pak!” Pak Wagiman kalem berbicara sambil tersenyum. Sedang pak Bejo masih mengerutkan kening, karena belum hilang rasa herannya…
“Pak Bejo, saya ini termasuk orang yang cukup kagum dengan kesabaran pak Bejo…” terang pak Wagiman setelah ia dipersilakan duduk di ruang tamu yang sangat sederhana, dindingnya terbuat dari kayu dan tampak cat kapurnya sudah mulai usang warnanya. Ruang tersebut terbuka bergabung dengan ruang keluarga dan ruang makan. Lantainya juga hanya tanah…
“Ah…pak Wagiman ada-ada saja… tidak usah memuji saya seperti itu, pak… saya takut malah jadi sombong,” kata pak Bejo setengah bercanda.
“Ya pak…sungguh, saya tidak mengada-ada . pak Bejo seperti tidak ada beban menghadapi hidup..ringaan saja… bahkan aku sering tahu pak Sukir…lha wong dia itu tukangnya, upahnya lebih banyak dari pak Bejo kok malah dia yang sering ngutang upahnya pak Bejo. Dan pak Bejo kulihat seperti orang yang tidak pernah butuh duit saja. Selaluuu saja uang pak Bejo diutangkan pada pak Sukir… itu lho, pak salah satunya yang membuat aku kagum. Disaat orang lain pada kranjingan… memprimadonakan uang…eh…kok malah pak Bejo…kayaknya santaiii saja.. nggak kagum gitu sama uang…”
“He..he..he…pak Wagiman ada-ada saja… pak Sukir itu banyak kebutuhannya, Pak. Lain sama saya. Saya kendaraan ‘kan cuma sepeda pancal, jadi tidak perlu mikir beli bensin, sedang pak Sukir pakai sepeda motor, selain beli harus beli bensin, ganti oli, dan untuk ganti suku cadangnya ‘kan lebih mahal sepeda motor daripada sepeda pancal. Nah… itu salah satunya, pak… pokoknya saya sangat berbeda dengan pak Sukir, saya tidak banyak mempunyai kebutuhan, saya juga tidak punya banyak barang yang saya miliki, sehingga saya tidak terlalu membutuhkan banyak uang untuk merawat barang-barang yang saya miliki. Semuanya yang penting bisa menunjang kami tetap bisa hidup. Kalau soal uang…semua orang butuh uang, pak… tapi saya tidak menggantungkan diri saya pada uang. Bagi saya, buat apa pegang uang banyak, kalau hati tidak tenang, badan sakit… kami sekeluarga hanya butuh makan minum secukupnya, sehat selamat, anak-anak bisa sekolah dengan baik… kalau akhirnya nanti tidak dapat meneruskan sekolah, ya… tidak apa-apa, yang penting nantinya mereka tidak kelaparan, dan selamat hidupnya dunia-akherat…”
“Tapi, pak… bukankah itu semua …makan…minum…sekolah…semuanya juga harus menggantungkan uang ‘kan, Pak?”
“Tidak selalu, pak. Saya hampir tidak pernah memegang uang, pak… tapi saya selalu percaya gusti Allah akan memberi kita jalan, kalau kita memintanya. Ketika saya lagi membutuhkan uang untuk biaya anak saya..entah mengapa tiba-tiba ada rejeki, yang nawari serabutan..atau tiba-tiba ada yang bisa di jual dari hasil tanaman yang tumbuh di halaman itu…. yah… jadi saya tidak takut menghadapi hidup. Saya tidak takut, kalau tidak pegang uang kemudian mati kelaparan, karena saya percaya pada gusti Allah yang akan mengurus makhluk-makhluk ciptaanNya… saya hidup hanya menggantungkan diri padaNya… bukan pada uang atau yang lainnya…”
“Luar biasa prinsip hidup pak Bejo. Tapi tidakkah kadang ada ketakutan juga ?”
“Pernah juga… tapi kembali saya meyakinkan diri dengan janji Gusti Allah. Dan memang tenyata benar… Gusti Allah selalu menolong kita disaat yang tepat, kalau kita mau selalu mempercayai dan memohon padaNya…”
“Tapi… ah…saya tidak dapat membayangkan bagaimana bisa hidup tanpa memegang uang…”
“Pak…rejeki itu bukan hanya uang bentuknya… tapi ketika kami lapar, ternyata ada yang mengirim kami makanan, dari kelebihan hasil panen tetangga…tasyakuran karena dapat rejeki…atau kalau pas tidak ada lauk, kami punya ayam, atau mancing di sungai… dapat ikan, sayurnya…. Itu banyak kangkung, bayam.. tumbuh liar di sawah, ladang, bahkan di halaman depan yang sempit itu juga ada tomat, cabe… semuanya tumbuh subur, sehingga kami sudah tercukupi oleh gusti Allah dengan alam sekitar kami.”
“tapi, pak.. apa pak Bejo tidak ingin beli barang-barang seperti televisi, sepeda motor… seperti orang-orang lain itu ?”
“Ah… pak.. saya tidak menginginkan sesuatu yang bukan menjadi jatah saya. Gusti Allah sudah menjatah saya hidup di dunia demikian, saya sudah alhamdulilah sekali. Ada radio itu kami sudah sangat senang. Televisi untuk pa, pak… kalau yang dipertontonkan di TV itu pada polahe nggak karu-karuan… saya malah takut dosa… “
“Tidak ingin lihat berita…berita begitu , Pak ?”
“Ah…untuk apa saya melihat berita…malah pusing saya…banyak berita macem-macem… tapi negara juga tetap saja seperti ini…”
“Apa pak Bejo takut tergoda tayangan-tayangan di televisi yang menawarkan barang-barang indah macam-macam itu ?”
“Tidak, pak… saya tidak pernah melihat sesuatu yang indah selain dapat hidup, sehat dan selamat di tengah-tengah keluarga. Hal-hal seperti itu tidak mempengaruhi saya dan keluarga sama sekali. Terlalu memikirkan kesenangan, hanya akan menganggu ibadah kami pada Gusti Allah…”
Luar biasa…hebat sekali…seorang kuli bangunan, tidak bersekolah, miskin, pakaian cuma satu..dua..penyakitan..ternyata memiliki pandangan bijak yang mampu mengalahkan akal sehat banyak pejabat tinggi dan orang-orang pintar yang suka korup di negeri ini. Hati pak Wagiman menjadi tenang dan sejuk. Alangkah indahnya hidup keluarga pak Bejo, mereka tidak resah karena silau melihat gemerlap duniawi. Mereka bahkan merasa bahagia, karena keadaan sulit yang mereka hadapi bisa mendorong mereka lebih dekat kepada Tuhan yang Maha Esa…
“Tapi, pak… apakah tidak pernah terpikirkan oleh pak Bejo untuk bekerja yang lebih tinggi… naik jadi tukang seperti pak Sukir begitu ?”
“Ah… tidak, pak…menjadi orang yag semakin tinggi jabatannya… yang dipikirkan lebih banyak, tanggung jawabnya juga lebih besar… saya menikmati pekerjaan saya menjadi kuli, karena tidak banyak tanggung jawab saya… jadi pikiran saya sangat tenang dengan pekerjaan yang telah di berikan gusti Allah ini pada saya…”
Alhamdulillah, hari itu pak Wagiman telah mendapat pelajaran dari pak Bejo. Akan tetapi rasanya ia belum puas, ia ingin menemui orang yang kelihatannya lebih menderita daripada pak Bejo.
Ada seorang wanita tua yang memiliki ujian berat dengan dua anaknya yang cacat fisik dan mental. Kedua anak laki-laki dan perempuannya itu lumpuh dan memiliki keterbelakangn mental sampai dewasa. Wanita tua yang sudah di tinggal mati suaminya itu, hanya merawat sendiri kedua anaknya tersebut, dengan sedikit bantuan dari tetangganya. Pak Wagiman ingin menemui wanita itu. Ia ingin mengetahui bagaimana perasaan wanitaa yang miskin dan harus hidup dengan ujian yang begitu berat….
“Monggo, Pak!” Wanita itu mempersilakan pak Wagiman duduk di kursi bamboo reot yang ada di teras rumahnya...
“Ma’af bu, saya mengganggu. Bisa ngomong-ngomong sebentar, bu ?”
“O..iya, pak.. tapi sebentar nggih..anak perempuan saya pipis di celana. Saya salini sebentar, ya?’ ijin wanita itu pada pak Wagiman untuk merawat anaknya dulu..
“O..monggo..silakan , Bu…” wanita tua yang jalannya sudah tertatih-tatih itu berjalan lagi kedalam rumahnya yang sempit, terbuat dari bambu dan berlantaikan tanah. Rumahnya hanya terdiri dari satu ruangan. Ruang tersebut adalah ruang serba guna, untuk ruang keluarga, ruang makan, dan kamar tidur sekaligus. Untuk menerima tamu, biasanya di teras, dan untuk dapurnya, ada teras di belakang yang ditutup dengan ‘gedhek’ (lembar anyaman dari bambu) dan kamar mandi yang terbuka di belakang.
Pak Wagiman mencoba melongok kedalam, ketika wanita tua itu mengganti pakaian dan celana anaknya yang basah oleh air pipis..
“MasyaAllah…sabar sekali wanita itu…sudah tua, miskin, harus diuji dengan anak-anak yang cacat. Sungguh luar biasa penderitaannya…” begitu pikir pak Wagiman mengagumi kesabaran wanita tua yang mendapat ujian berat dari Tuhan tersebut.
“Bu…ujian ibu berat sekali…ibu tidak merasa lelah ?” begitu pak Wagiman membuka percakapan ketika wanita itu kemudian menemuinya di teras .
“Ya.. kadang terasa lelah juga, pak… tapi karena sudah menjadi kegiatan sehari-hari.. lama-lama jadi terbiasa… apalagi… saya melakukannya karena dasar kasih sayang saya pada anak-anak saya… jadi lelah itu hilang, ketika melihat mereka dapat saya rawat dan dampingi dengan baik.”
“Ibu tidak pernah menyesal Tuhan menganugerahi ibu anak-anak yang membebani ibu sampai usia seperti ini ?” wanita tua itu kemudian meneteskan air mata mendengar ucapan pak Wagiman…
“Tidak, Pak. Saya justru bersyukur gusti Allah telah memberi saya anak-anak yang baik. Benar mereka tidak seperti anak-anak yang normal lainnya, tapi mereka adalah anak-anak yang tidak pernah menyusahkan saya…”
“Tidak menyusahkan ?! Lho…bukankah ibu harus dibuat repot merawat mereka sampai usia tua ?”
“Tidak, pak. Mereka tidak merepotkan saya. Mereka sangat baik dan penurut. Walau mereka tidak dapat menghasilkan apa-apa, menggantungkan diri pada saya, tapi itu semua bukan kehendak mereka. Gusti Allah yang telah menakdirkan mereka jadi demikian. Jadi sudah menjadi kewajiban saya untuk menunjukkan kecintaan saya pada gusti Allah, dengan merawat anak-anak pemberian dariNya…”
“Apakah ibu pernah berpikir..ma’af…bagaimana kalau suatu saat mereka harus ibu tinggal ? siapa yang akan merawatnya ?”
“Saya selalu berdo’a pada gusti Allah untuk melindungi anak-anak saya. Jadi saya percaya saja, kalau saya meninggal, pasti gusti Allah mencarikan jalan terbaik untuk anak-anak saya..”
“Wah..ibu hebat sekali.. tapi….pernah… tidak menyesal ketika melihat anak-anak lain pada pergi sekolah..pinter-pinter…”
“Penyesalan itu sudah saya kubur dalam-dalam setelah saya dan suami saya menyadari bahwa gusti Allah ternyata telah memberi kami anak-anak yang terbaik…”
“Terbaik??” Pak Wagiman mengernyitkan kening tak dapat menerima maksud perkataan wanita tua itu....
“Ya..pak…mungkin Gusti Allah tahu, kalau kami pasangan suami istri yang bodoh dan miskin. Kalau kami di beri anak-anak yang sehat. Gusti Allah mungkin takut kami tidak bisa mendidik anak-anak kami dengan baik dan benar. Sedangkan kami semua, baik orang tua maupun anak-anak kami, kelak harus mempertanggung jawabkan perbuatan kami di hadapan gusti Allah. Walau orang lain melihat kondisi anak-anak saya memprihatinkan.. tapi saya juga bersyukur… mereka tidak menyusahkan saya . bahkan banyak orang-orang yang di paringi gusti Allah anak-anak yang sehat dan pinter-pinter… tapi malah ada yang suka berjudi, mengunjungi wanita-wanita nakal, atau jadi wanita nakal, tawuran, mbohongi orang....dan katanya dengar-dengar sekarang ini banyak orang-orang pinter yang sudah kaya dan punya jabatan, malah pada minteri bangsanya sendiri..”
“Minteri bangsanya sendiri ?”
“Ya..pak.. sudah pada pinter-pinter.. sekolah tinggi… ketika sudah pinter tidak digunakan untuk membangun negaranya, ‘gelem’ mbagi kesejahteraan dengan wong-wong cilik…eh…kok malah katanya pada ‘bancaan’ uang rakyat…. Apa ada, Pak… yang mau peduli sama nasib orang-orang seperti saya. Keinginan kami tidak muluk-muluk kok, pak.. yang penting kami dapat makan, tidak terlalu kenyang tidak apa-apa, asal anak-anak saya tidak kelaparan. Tapi.. harga-harga kok pada mahal”
:”Lho.. harga-harga barang seperti televisi, sepeda, pakaian… dan lain-lainnya pada malah semakin murah lho, bu…”
“Kami orang miskin tidak membutuhkan barang-barang seperti itu. Itu kebutuhan orang-orang kaya. Barang kebutuhan untuk orang-orang miskin, pak yang disambatkan banyak orang… untuk makan…” wanita tua itu tampak kembali menitikkan air mata. Ia menangis bukan menangisi takdir Tuhan, tapi memikirkan ulah manusia yang membuat kebutuhan sehari-hari yang dibutuhkan orang-orang miskin….serasa menjerat leher. Pak Wagiman berpikir, memang benar kalau banyak orang pinter jaman sekarang tidak berjuang untuk kepentingan bangsa dan Negara seperti orang-orang pinter yang jaman dulu yang kita punyai. Mereka gunakan kepinteran mereka untuk memperjuangkan kepentingan bersama walau harus mempertaruhkan segalanya. Orang pinter sekarang hanya terbuai oleh empuk dan nikmatnya kekuasaan, harta bahkan wanita. Pertanyaannya, adakah yang mau menahan diri untuk tidak mengambil uang Negara demi kesejahteraan orang-orang seperti wanita tua ini ? jangankan mau mempertaruhkan jiwa, raga dan harta sebagaimana para pendahulu kita memperjuangkan kemerdekaan ini, keluar uang pribadi untuk kepentingan bangsa dan negara se sen  saja, ‘uemaaan tenan’. Kok enak… kalau bisa ya… uang rakyat bisa masuk ke kantong pribadi…soal wong-wong cilik pada ‘melet-melet’… urus sindiri nasibmu….Ah….
“Benar, pak itulah sebabnya saya tidak sedih mempunyai anak-anak yang tidak pinter, saya kuatir mereka malah jadi keblinger dan ikut-kutan orang yang nggak bener. “ celetuk wanita itu seakan dapat membaca hati pak Wagiman.
“tapi ‘kan lebih baik kalau pinter dan juga bener, ya Bu ?”
“Orang seperti saya tidak membutuhkan orang pinter… tapi orang – orang yang memiliki rasa kasih sayang dan belas kasihan pada sesama…”
Benar juga wanita tua itu. Untuk apa pada pinter, kalau hanya minteri orang lain. masyaAllah… ibu itu benar. Pak Wagiman merasa tersindir secara tidak langsung. Ia sempat goyah imannya. Hampir saja ia menggunakan cara tidak benar agar dapat menduduki jabatan yang lebih tinggi. Nah… bisa dibayangkan… berapa banyak uang BOS yang akan ia makan untuk mengembalikan modalnya meraih jabatan tersebut. Dan kalau nanti sudah balik modal, ketika merasakan enaknya ‘ngenthit’ uang rakyat …pasti nanti akan nagihi, jadi ‘angel mendeg’ ah… astagfirullah…hati pak Wagiman mulai terasa lapang… rasa syukur menyelimuti hatinya… malu rasanya sama pak Bejo dan wanita tua itu. Ia yang sudah mapan dan memiliki segalanya, gaji tetap, makan tidak pernah kurang, anak istri sehat, pintar dan baik. Iapun juga sehat dan pintar, ternyata masih saja bersedih hati, gara-gara menginginkan sesuatu yang lebih daripada yang Tuhan telah berikan. Betapa tidak tahu dirinya dia. Ah… sungguh dangkal pemikirannya selama ini, kalau memandang sesuatu hanya keatas… sungguh… dengan melihat lebih bijak ke semua arah, kita akan lebih bisa mensyukuri karunia Allah pada kita…ah… benar ternyata, kalau silaturahmi dapat memperpanjang umur…
“Ah… aku tidak mau lagi merekayasa nilai… seperti ini!” hari itu di ruang guru, pak wagiman kembali mendengar bu Siti ‘ngersulo’ soal nilai…
“Ada apa, bu… lha wong begitu saja… tinggal di buat… dikarang…ditulis… nggak pakai banyak tenaga dan otak saja, kok…” celetuk pak Andi menimpali keluh kesah bu Siti.
“Eh…enak saja nggak pakai otak… pusing ini…. kasihan sama anak yang lumayan pintar dan rajin, nilainya jadi sama dengan anak yang males, gara-gara biar semua dapat naik kelas, harus dinaikkan ke standar minimal KKM…”
“Ah… kita ini pegawai cilik tidak mampu berbuat apa-apa, kalau peraturannya sudah begitu…. Ya mau tak mau harus mau… “
“Harus mau ikut rusak, begitu maksudnya ?” timpal bu Siti agak sewot.
“Eh…bu…manipulasi nilai lagi , ya ?” pak Wagiman ikut nimbrung.”Awas lho…kalau besuk di akherat diseret malaikat …”
“Eh… kalau aku yang di seret malaikat, aku ya nyeret wakil kepala sekolah.. yang nyuruh dia kok…”
“Lho…wakil kepala sekolah juga ada yang nyuruh lho…”
“Siapa ? Kepala sekolah… ya biar wakil kepala sekolah , yang nyeret kepala sekolah… kalau kepala sekolah juga nggak terima… biar dia cari yang mau di seret… biar panjang seret-seretannya…”  walau agak kesal,  bu Siti masih mau menanggapinya dengan canda…
Pak Wagiman bergidik ngeri mendengar canda bu Siti yang dirasanya kembali seolah menyindir dirinya. Benar juga, menjadi kepala sekolah tentu memiliki tanggung jawab lebih besar atas segala sesuatu yang tidak benar yang terjadi pada kelahiran generasi bangsa, dibanding guru. Guru berada pada posisi terlemah dalam menjalankan peraturan pendidikan. Mereka selain pelaksana terendah, juga bisa termasuk menjadi korban. Karena banyak hal dalam dunia pendidikan yang banyak bertentangan dengan kehendak hati nurani guru. Coba bayangkan. Sekarang ini diterapkan  standar nilai minimal KKM yang tinggi. Siswa-siswi diharuskan melampauinya. Bayangkan saja ‘polahe’ banyak guru yang murid-muridnya sebagian besar dari keluarga kurang mampu dan kurang merasakan pentingnya bersekolah. Lha wong selama ini dengan standar nilai 60 saja sudah pada pasang alat ‘katrol’ nilai, kok sekarang dipaksakan untuk harus lulus dengan nilai 65 bahkan 70. bukankah itu sama juga bohong ? guru harus menggenjot mereka agar mencapai semua ? nggak mungkinlah hasilnya maksimal…materi yang dituntut pemerintah terlalu berlebihan. Guru yang langung berhadapan dengan anak didik nggak akan ‘mentolo’ membiarkan anak-anak didiknya tinggal kelas hanya untuk materi pelajaran yang kemungkinan besar tidak akan mereka temui apalagi pakai dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya, mereka memilih jalan manipulasi untuk menolong anak-anak didiknya dengan mengatrol nilai mereka. Tapi…mungkin kemudian ada yang berkomentar…
” Guru sekarang tidak dapat dipercaya, mereka terlalu lemah… tidak seperti guru jaman dulu yang disiplin, kalau anak tidak mampu ya…tidak dinaikkkan atau di luluskan… sehingga hasilnya generasi-nya… ya…benar-benar hebat… coba guru sekarang…nggak bisa apa-apa juga tetap dinaikkan atau diluluskan… paling-paling yang tidak dinaikkan atau tidak di luluskan yang bandel-bandel saja…”
Eh…belum tahu beratnya jadi guru. Sebagai pendidik, guru pasti saja sangat ingin menghasilkan generasi-generasi bangsa yang bertakwa pada Tuhan, cerdas, jujur, disiplin, santun, amanah, kreatif dan mandiri. Akan tetapi dalam proses belajar mengajar, guru-guru dihadapkan pada materi yang harus disampaikan pada anak didik, seakan hanyalah materi yang berupa formalitas, bukan pelajaran-pelajaran yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Coba kalau materi yang dituntut pemerintah untuk matematika misalnya, dengan melihat fakta bahwa dalam kehidupan sehari-hari setiap orang hanya akan berhadapan dengan masalah penambahan, pengurangan, perkalian dan pembagian, maka penekanannya haruslah menguasai ilmu tersebut, tanpa dituntut menguasai rumus yang berbelit (Kecuali untuk yang benar-benar sudah mengambil jurusan matematika) dan tidak ketahuan besuk mau digunakan untuk apa dalam realita hidupnya, maka guru yang tahu siswanya mengalikan 6x6 atau 8x8 saja tidak bisa, dan guru menganggap akan membahayakan hidup sehari-hari siswa jika dinaikkan kelas, otomatis guru tidak akan menaikkan atau meluluskan dengan sendirinya. Lain halnya kalau guru melihat materi yang dituntut pemerintah hanya akan berguna bagi ahli matematika, akal sehat guru yang berbicara… tidak menguasai matematika dengan rumusnya yang macem-macem itu juga nggak ada salahnya… mau dipakai apa ? Anak mau diminta mengulang-ulang sekolah yang menghabiskan waktu, tenaga, pikiran dan uang…hanya untuk ilmu yang belum tentu mereka pakai … belum lagi kalau sampai stress…eh…malah ngrusak masa depan anak orang…. jadi… itulah kemudian yang memicu guru untuk memilih sebuah kebijakan sendiri, yaitu memanipulasi nilai. Sebuah manipulasi yang mulia bukan ? akan tetapi manipulasi…tetap manipulasi, apapun bentuknya dapat berdampak buruk bagi kemajuan bangsa dan Negara. Oleh karena itu yang perlu dirubah haruslah system dalam dunia pendidikan. Sekolah harus merupakan sebuah tempat pendidikan yang menyiapkan generasi yang mampu memenuhi segala kebutuhan bangsa dan Negara ini untuk melakukan hal-hal yang benar dalam hidup yang sebenarnya. Bukan pendidikan yang sekedar formalitas, karena hidup adalah nyata, bukan formalitas….ah…pak Wagiman jadi bersyukur, Tuhan telah menjauhkannya dari amanah mempertanggungjawabkan hasil pendidikan dinegeri ini… menjadi guru mungkin sedikit lebih aman daripada menjadi kepala sekolah…kalau sistemnya masih seperti ini… 
“Bapak… bapaknya Rina ternyata di angkat jadi kepala sekolah juga… ah…aku jadi malu sama Rina, Pak…”  Tika anak pak Wagiman yang sekolah di SMU kelas 11 itu mengeluh sesal karena ayah sahabatnya dapat berhasil naik pangkat, sedangkan bapaknya sendiri tidak…
Alhamdulilah… penyesalan Tika justru membuat pak Wagiman kembali bersyukur… ternyata dia dan keluarganya juga telah dihindarkan oleh Allah SWT, dari dosa riya’….

      

   
                                             


        

TAK BOLEHKAH KAMI BERCITA-CITA ?


Hari itu adalah hari pertama masuk sekolah. Aku adalah salah seorang guru yang  mendapat tugas memberi materi dalam acara MOS [Masa orientasi Sekolah] yang biasa diadakan pada hari pertama masuk sekolah.
Untuk hari pertama…biasaa… selalu diisi dengan perkenalan. Aku sebagai guru terlebih dahulu mengenalkan diriku pada murid-murid baru yang aku lihat masih begitu masih cerah dan imut wajahnya. Mereka anak –anak yang baru saja lulus dan lepas dari masa anak-anak di SD-nya. Aku melihat ada keceriaan dan kebahagiaan di mata mereka… maklum… sebagai anak-anak yang tinggal di desa kecamatan, SMP tempat aku mengajar termasuk sekolah menengah pertama yang banyak diminati anak-anak di desa kecamatan tersebut. Menjadi murid baru dengan prestasi bisa menyisihkan saingan-saingan mereka tentulah sangat menggembirakan, walaupun… yah… mereka bisa masuk hanya lewat saringan nilai-nilai dari ujian nasional… padahal.. banyak orang pendidikan tahu kalau hasil Ujian Nasional menjadi suatu hasil yang tidak dapat dipertanggung jawabkan akan sesuai prestasi anak yang sebenarnya. Anak-anak yang biasanya prestasinya bagus, justru lewat ujian nasional ini malah sering dikalahkan oleh anak-anak yang dalam keseharian kurang, tetapi aktif dalam melobi jawaban dari sana-sini. Lho bagaimana dengan pengawas yang merupakan para pendidik itu ? Yah… itulah masalahnya… para pendidik saat itu sedang dihadapkan pada pilihan yang sulit antara membiarkan murid-muridnya tinggal sekolah… atau meloloskan mereka…. Kalau menilik sulitnya perekonomian saat ini serta resiko beban stress yang bisa terjadi pada siswa, wajarlah kalau para guru itu mencoba menolong murid-muridnya agar bisa lulus dari ujian Nasional. Mengulang belajar lagi? Ah… kasihan sekali orang tua mereka harus kembali mengeluarkan biaya untuk tahun berikutnya sedangkan untuk makan sehari-hari saja sudah kerepotan….. apalagi banyak materi yang diajarkan di sekolah tidak terlalu relevan dengan kebutuhan sehari-hari dalam hidup bermasyarakat… yah… karena setelah terjun dalam dunia kerja dan masyarakat… banyak orang terpelajar tidak lagi dapat mengingat pelajaran-pelajaran waktu mereka sekolah…. Malahan tragisnya aku sering mendengar keluhan ironis dari para lulusan sekolah ketika menghadapi test ujian masuk Pegawai Negeri… banyak dari mereka yang sudah lama lulus dari sekolah dan belum juga lulus-lulus seleksi pegawai negeri… mengeluh… “waduh ya terang anak-anak yang baru lulus yang di terima, lha wong soal yang keluar banyak yang dari pelajaran sekolah. Kita-kita yang sudah lama lulus sekolah terang saja sudah lupa. Lha wong yang kita hadapi sudah berbeda… .” Lho…. Jadi apa gunanya pelajaran sekolah kalau begitu….  Kalau kenyataannya setelah lulus sekolah banyak materi yang mereka pelajari dari sekolah sudah terlupakan? Bukankah itu sama artinya kalau banyak materi pelajaran sekolah, tidak banyak ditemui dalam kehidupan sehari-hari ? waduh…. Ironis sekali kalau begitu… sebenarnya bukan berarti pelajaran sekolah tidak penting. Yang ironis adalah pemilihan materi yang tidak tepat. Hal-hal yang seharusnya lebih banyak dibutuhkan untuk diketahui, dalam kehidupan nyata disekitar kita, malah tidak diajarkan, sedangkan ilmu-ilmu yang terlalu jauh dari jangkauan,  malah  dijejalkan berlebihan pada anak didik ?  contoh kecil saja, dijejalkan pada anak didik pengetahuan muluk-muluk tentang rumus ini itu, peraturan nomer sekian-sekian, dan hapalan muacem-macem, sampai nggak muat itu rasanya otak. Akan tetapi lihat itu banyak anak terdidik yang kehilangan adab ketimurannya, tangannya juga ‘nglithis’, suka mencorat-coret atau merusak fasilitas-fasilitas umum, sopan santun dijalanpun banyak yang tidak paham. Kami seringkali dibuat jengkel oleh ulah anak-anak sekolah baik itu SLTP maupun SLTA yang tidak tahu sopan santun di jalan. Mereka memenuhi badan jalan dengan gaya seenaknya, sambil bergurau dorong-dorongan atau saling balap, tanpa memikirkan bahaya yang bisa mereka timbulkan, serta kenyataan bahwa jalan tersebut adalah jalan umun yang pihak lain juga layak untuk menggunakannya. Ada memang sekolah yang tertib, mungkin inisiatif gurunya yang terus mengingatkan. Lha kalau guru-guru di sekolah tertentu tidak tanggap tentang hal yang menyangkut kebutuhan langsung siswa dan masyarakat…pokoknya asal telah menyampaikan materi sesuai SKL (Standar Kompetensi Kelulusan), sudah merasa tuntas tugas mereka… akibatnya???
Lalu apakah tujuan dunia pendidikan yang sebenarnya ? untuk memperoleh hasil lahirnya generasi-generasi bangsa seperti harapan bersama ? Ataukah hanya dianggap sebagai sekedar formalitas belaka ? kalau hanya sekedar formalitas, lha apa yang dicari dari sekolah ? Ternyata…. Jawabnya hanya untuk mendapat ‘ijasah’ guna mencari lowongan pekerjaan… waduh…. Ternyata bukan ilmunya to yang di cari dari sekolah… cuma nilai ijasah untuk cari kerja…. Eh…. Tak heran banyak orang mengejar ijasah dan gelar setinggi-tingginya dengan aneka cara tanpa peduli menguasai atau tidak ilmunya, yang penting nilai, yang diabadikan dalam selembar kertas yang disebut ‘ijasah’… toh nilai yang tertera diatas ‘ijasah’ lebih penting untuk melamar pekerjaan atau meningkatkan jabatan, daripada kreatifitas dan kecakapan….  Astagfirullah….
Itulah.. bukan suatu yang mengherankan jika para guru itu kemudian mengambil langkah yang yah… sebenarnya cukup sepele… namun dampaknya akan sangat besar di kemudian hari bagi kemajuan bangsa dan negara. Negara yang sudah porak poranda karena tercemarnya sumber daya manusianya yang tak punya rasa segan untuk saling curang mencurangi… kini malah akan lebih parah dengan usaha para guru yang menunjukkan betapa ‘curang’ itu sekarang sangat ‘penting’… sepanjang itu dapat menolong kita keluar dari suatu masalah….
MasyaAllah… inilah yang terjadi di banyak sekolah pedesaan. Anak kota …apalagi mereka yang bersekolah di sekolah favorit… jelas tidak bisa distandarkan sama dengan anak-anak yang tinggal di daerah pedesaan atau bahkan daerah terpencil… karena semangat, dorongan bahkan mungkin faktor gizi mereka sangat berbeda.. belum lagi dalam hal sarana dan prasarana. Banyak muridku tidak punya televisi di rumah…. Kalau ingin nonton TV… mereka harus numpang ke tetangga yang lebih berada. Nah… apalagi media seperti… Koran… majalah serta penunjang buku lain di rumah untuk menambah wawasan serta semangat belajar, agar dapat  ‘mengejar ketertinggalan dari negara lain’… jelas hal yang tidak terbayang dari benak mereka, belum lagi kondisi ekonomi orang tua yang sulit… tentu sangat berpengaruh pula dalam konsentrasi belajar mereka, rasa pesimis pada masa depan , karena tidak adanya biaya untuk melanjutkan, telah membuat semangat mereka untuk belajar telah ‘kendor’ sejak awal… orang tuapun… tampaknya selain tidak punya banyak waktu untuk mengontrol pendidikan anak-anaknya, mereka juga sebagian besar beranggapan bahwa daripada melanjutkan sekolah, lebih baik anak-anak segera bekerja membantu meringankan beban mereka mencari makan…. aku bahkan mendapat informasi dari guru BK (Bimbingan Konseling) bahwa ada beberapa anak  yang tidak dapat melanjutkan, kemudian ada sebuah yayasan yang bersedia meneruskan sekolah mereka gratis ke SMU atau SMK, namun ternyata orang tuanya banyak yang menolak , dengan alasan anak-anaknya lebih baik langsung bekerja mencari uang membantu orang tua saja daripada harus melanjutkan sekolah. Pandangan seperti itu tentu dapat mempengaruhi semangat belajar anak di kelas…
Atas dasar inilah… kemudian hati nurani gurulah yang berbicara…. Bukan fakta hasil pendidikan… yang penting bagaimana mereka bisa lulus… dengan nilai-nilai yang di standarkan… entah dengan cara apa dan bagaimana…dapat ijasah… dapat melanjutkan sekolah… siapa tahu ijasahnya bisa untuk melamar pekerjaan… agar kehidupan mereka menjadi lebih baik dan sejahtera daripada orang tua-orang tua mereka…MasyaAllah…
“Sudah… sekarang perkenalan untuk saya cukup… sekarang ada yang mau bertanya ? “ aku menutup perkenalanku dengan membuka kesempatan pada siswa-siswi baru itu untuk bertanya… namun sayang.. anak-anak satupun tidak ada yang mengajukan pertanyaan padaku. Kondisi anak-anak yang pasif seperti itu bukan kali pertamanya aku alami, aku sudah mulai mengalaminya semenjak sekolah menerapkan ujian nasional sebagai dasar penyaringan ‘Penerimaan Murid  Baru’… dulu waktu sekolah menggunakan nilai asli ujian yang tidak dipakai untuk standar kelulusan… murid-murid di SMP ini masih lumayan lebih baik…. Karena mereka banyak yang aktif, lebih tanggap dan kreatif… namun semenjak sekolah menerima siswa siswi dari hasil penyaringan Ujian Nasional yang di standarkan nilainya… bukannya semakin meningkat lebih baik…. Namun… malah semakin menyedihkan… aku bahkan sempat menanyakan kepada wakil Kepala Sekolah kenapa sekolah tidak mengadakan saringan masuk lagi untuk murid-murid baru… karena kualitas SMP kami menjadi sangat merosot kalau menggunakan ukuran hasil Ujian Nasional… namun aku memperoleh jawaban bahwa tidak ada panduan untuk sekolah mengadakan saringan ujian masuk… yang ada hanya RSBI (Rintisan Sekolah Berstaraf Internasional) sedang sekolah kami baru sekolah SSN (Sekolah Berstandar Nasinal)… itu berarti kami mau tidak mau harus mengikuti aturan yang mengharuskan sekolah menyaring siswa siswi baru hanya dengan berpatokan pada Ujian Nasional…sebuah ujian yang… yah… sudah banyak orang tahu… ujian itu telah menghasilkan nilai-nilai yang banyak tercemari dan terekayasa…Astagfirulah….
“Ayo, bertanyalah… pasti ada yang ingin bertanya… tapi takut.. kalian tidak boleh takut bertanya ya ? kalian pernah mendengar pepatah yang mengatakan ‘malu bertanya sesat di jalan ‘kan ? makanya … kalau tidak ingin tersesat di jalan… ketinggalan… baik dalam hal apapun…. Harus berani bertanya…?” Aku memberi semangat pada mereka untuk berani unjuk diri… namun masih saja aku belum mendengar seorangpun dari mereka ingin bertanya. Pandangan mereka kosong tanpa ide kearahku…
“Ya sudah… kalau begitu… ini.. siapa… Siti ya ?” Aku mendekati dan menunjuk Siti, seorang gadis yang duduk di depan dengan ‘keplek’ tanda nama di dada kirinya. Siti memandangiku… kemudian tertunduk sambil tersenyum…
“Siti.. ada yang ingin kamu tanyakan tentang ibu….? Kamu ‘kan belum mengenal saya. nah… apakah perkenalan saya yang singkat tadi sudah cukup? Tidak ada lagi yang ingin kamu ketahui?” Siti kembali tersenyum sambil menggelengkan kepala… Siti tidak mau bertanya.. aku kemudian mencoba untuk menunjuk temannya yang lain… sama saja.. mereka juga tidak ada yang ingin bertanya… entah malu… tidak punya ide… atau… entahlah… aku tidak tahu apa yang terjadi pada mereka…
“Tadi ‘kan saya belum bercerita soal status . Apa ada yang ingin tahu status saya…? anak-anak saya…” aku mencoba memancing mereka dengan memberi contah pertanyaan… namun mereka tetap diam… yang ada bahkan beberapa anak laki-laki yang kemudian saling ‘clemong’, ngomong sendiri antar temannya… tapi kemudian ketika kuminta untuk menyampaikannya secara langsung pertanyaan yang tadi sedang diobrolkan sama temannya… mereka malah tak mau bersuara… aduh… sedih sekali kalau anak-anak calon pembangun negeri ini tidak berani unjuk diri atau kurang dari ‘rasa ingin tahu’….
“Ya sudah… kalau tidak ada yang bertanya pada saya… saya lanjutkan dengan kalian yang giliran satu persatu untuk memperkenalkan diri di depan.. kalau nanti di depan… suaranya harus keras ya… dan teman-teman yang lain… karena kalian semuanya sebagian besar teman baru… pasti kalian belum banyak tahu tentang teman-teman kalian. Nah kalau sama teman kalian sendiri…  harus berani bertanya…”
Aku panggil salah seorang anak yang duduk paling pojok kanan depan untuk mengenalkan diri terlebih dahulu didepan teman-temannya di depan kelas. Aku sudah berikan pada mereka garis besar apa saja yang perlu untuk mereka perkenalkan pada teman-temannya, seputar nama panggilan, alamat, jumlah saudara, asal sekolah dan lain sebagainya. Kalau mereka ingin menambahkan lagi cerita perkenalan tentang diri mereka itu lebih bagus lagi… namun, Diana, anak pertama yang maju kedepan tidak menambahkan cerita tentang dirinya, dia bahkan lupa apa saja yang mau disampaikannya setelah menyebut nama dan alamat… aku mencoba memandunya… suara Diana kuecil sekali hingga aku berkali-kali memintanya untuk mengeraskan suara… yah itulah yang sering terjadi… anak-anak perempuan bahkan laki-laki kalau maju ke depan tidak mau mengeraskan suara, sehingga tidak bisa diikuti temann-temannya bahkan aku gurunya yang duduk paling dekat dengannya. Dalam pelajaran bahasa Inggris yang aku pegang… ada pelajaran berbicara, aku selalu dibuat capek dengan meminta anak-anak untuk mengeraskan suaranya. Aku bahkan mengeluarkan peringatan keras bahwa aku akan mengulang dan mengulang terus kalau suaranya tidak di keraskan… sudah aku jelaskan juga, walau salah tapi keras, masih aku beri nilai karena keaktifannya…sebaliknya walau benar tapi tak kedengaran… maka aku nilai belum lulus , sehingga harus mengulang dan mengulang lagi… padahal… pendidikan kita telah menerapkan Metodhe pembelajaran CTL (Contextual Teaching ang Learning) , sebuah metodhe pembelajaran yang menekankan keaktifan dan kreatifitas siswa dalam belajar… namun anak-anak tampak tak terbiasa dengan keaktifan… kreatifitas… mereka tampak lebih senang dan menikmati duduk diam…menulis… dan mendengarkan ceramah…. Mencatat… dampaknya… kalau di suruh melakukan sesuatu…. Pada sulit dan enggan melakukannya…  Namun tampaknya juga semangat beberapa guru untuk membuat anak-anak aktif melakukan sesuatu… kreatif dalam berpikir dan bertindak… sesuai dengan methode CTL…. Menjadi kendor…. Karena… lha buat apa to anak-anak kok diajarkan bagaimana menghasilkan suatu karya, lha wong yang diakui ujung-ujungnya toh hanya sebatas mata pelajaran yang di standar nasionalkan, itupun hanya dalam bentuk yang penting mampu mengerjakan ujian tulis berbentuk pilihan ganda.. jadi yang dianggap paling hebat berstandar nasional dan internasional itu hanya sekedar mereka yang bisa memperoleh nilai tinggi dari hasil mengarsir bulatan-bulatan a, b, c atau d… sedangkan untuk mampu memperoleh nilai tinggi dari kegiatan mengarsir itu, ada aneka cara kreatif untuk merekayasa dan mencuranginya… aku bahkan sempat berkelakar dengan sesama rekan guru.. bahwa Ujian Nasional yang katanya akan mampu mendorong siswa dan guru lebih meningkatkan mutu pendidikan.. ternyata bukannya mutu pendidikan yang semakin tinggi… akan tetapi justru meningkatnya kreatifitas murid dan guru dalam mencari ide-ide ‘jempol’ untuk ‘mencurangi sebuah aturan yang dipaksakan, yaitu ‘Ujian Nasional’  …. He..he… hebat juga ‘hasil’ dari sebuah pendidikan di negeri ini…  
Untuk membangkitkan semangat guru agar mau merubah metodhe pembelajaran lebih aktif dan kreatif… sudah banyak program yang dilakukan, seperti workshop , diklat-diklat serta pelatihan untuk guru…. Bahkan janji penambahan gaji dua kali gaji pokok kalau lulus sertifikasi…. Namun nampaknya hal tersebut tidak banyak merubah cara-cara lama guru dalam mengajar serta mengembangkan kreatifitas dan keaktifan anak di kelas, apalagi pengawasan dari pemerintah sendiri pada penerapan dari hasil aneka macam diklat dan workshop dalam proses belajar mengajar yang tepat di sekolah amat sangat lemah, hampir  tidak ada (itu mungkin memang sudah tradisi pemerintah yang kurang efektif mengadakan pengawasan terhadap kinerja para pegawainya).
Aku tidak banyak tahu yang terjadi di sekolah-sekolah favorit… namun di sekolah pedesaan yang aku amati… guru banyak yang menjadi patah arang,  karena faktor siswa, sebagai salah satunya. Sebagian besar siswa enggan menyambut ilmu yang di berikan oleh guru. Ini wajar… karena dengan beberapa keterbatasan yang mereka miliki, mereka melihat ilmu-ilmu yang diajarkan pada mereka terlalu jauh dari jangkauan. Sekolah mengajarkan matematika seakan semua anak akan dijadikan ‘ahli matematika’, sekolah mengajarkan bahasa … seolah-olah semua anak harus menjadi ‘ahli bahasa’. Sekolah mengajarkan Pkn, dengan bahan ajar seakan semua anak akan jadi ‘ahli hukum’, mengajarkan seni seolah pada jadi ‘pakar seni’…. Padahal tidaklah mungkin semua anak akan jadi ahli dan ilmuwan… sekolah tidak memandang hal yang riil saja… apa sebenarnya ilmu yang pasti akan menyentuh kebutuhan semua siswa… tidaklah mungkin siswa harus dan diharuskan mempelajari segala macam ilmu secara mendalam dan menyeluruh seperti yang terjadi di sekolah tingkat SD dan SMP saat ini.  Semua anak memang membutuhkan ilmu-ilmu yang sekarang diajarkan …. Namun hanya dasar-dasar yang menyangkut kehidupan sehari-hari… tidaklah perlu semua orang harus mengetahui tingginya gunung semeru… itu pekerjaan ahli geografi … kalaupun toh setiap orang harus tahu tingginya gunung semeru… lalu apa relevansinya untuk  menghadapi hidup dan kehidupan ? yang terpenting orang tahu kalau gunung itu tinggi… kalau ada yang menganggap gunung itu rendah,… baru itu yang harus di luruskan… rendah kalau di banding mana ?  
Kasus anak-anak putus sekolah di SMP Pedesaan, seringkali terjadi. Apakah karena faktor orang tua yang tidak mampu membiayai anak-anaknya, sehingga harus berhenti sekolah ? Ternyata jawabnya ‘Tidak selalu!’. Banyak anak yang mogok tidak mau melanjutkan sekolahnya, walau baru kelas 7 (alias klas 1 SMP), atau bahkan sudah hampir lulus dari kelas 9 (alias kelas 3 SMP), adalah karena ‘anak yang tidak mau lagi sekolah !’ alias jenuh dengan ilmu-ilmu yang diajarkan di sekolah, sebagian lagi karena dinikahkan diusia dini oleh orang tuanya, atau factor-faktor lain. Fakta menunjukkan bahwa tidak sedikit dari mereka yang putus di jalan, adalah mereka-mereka yang orang tuanya tergolong lumayan mampu.
Alasan lain selain materi pelajaran yang diajarkan di sekolah terlalu jauh dari jangkauan mereka…. Mereka mengambil contoh teman , tetangga, kerabat, keluarga yang lulus dari SMP dan tidak melanjutkan, ternyata lulusan SMP tidak terlalu berbeda degan lulusan SD, mereka kembali ke masyarakat… tanpa membawa pembaharuan yang berarti bagi diri dan lingkungannya…
Selain faktor ilmu yang tidak mengena pada kebutuhan siswa, aku melihat ada faktor lain yang membuat siswa-siswa terutama anak laki laki sebagian besar sangat enggan belajar…
“Apa masalah kamu sehingga, selalu telat mengumpulkan tugas… itupun karena ditagih terus menerus… tidak mengerjakan PR… di kelas juga Cuma duduk saja tidak mau menulis dan mengerjakan… apa masalahnya…”  biasanya mereka hanya diam tersenyum-senyum..
“Apa ada masalah di rumah ?” hanya menggeleng tersenyum..
“Masalah dengan teman… atau jangan jangan masalah sama pacar…” Aku berusaha menggurauinya…  teman-temannya biasanya ikut menanggapinya dengan tertawa-tawa dan ikut-kutan ‘nggojlok’
“kalau punya masalah… disampaikan lho ya…bahaya kalau kamu pendam sendiri…  kamu bisa bilang wali kelas, guru, orang tua., teman.. bahkan guru BK.. apa coba yang membuatmu begitu enggan belajar… kenapa mengangkat tangan saja kok kelihatan beraaat sekali. Di rumah suka membantu orang tua tidak ? “
“Suka, bu!”
“Masak… kalau terbiasa membantu… berarti biasa rajin.. iya ‘kan ?”
“Membantu, bu… “
“Membantu apa misalnya…”
“ Sepulang sekolah saya mencari rumput sampai jam lima sore..”
Oh… aku baru mengerti ternyata dia tidak punya banyak waktu untuk bermain… di sekolah harus belajar… di rumah harus membantu ekonomi orang tua…sehingga waktu dalam kelas tidak dia gunakan untuk belajar… malah hanya duduk saja….
“Kenapa kamu kok kalau di kelas sering mengantuk dan tidak mengerjakan latihan ? “ tanyaku pada murid yang lain.
“Tidak apa-apa, bu.” Dia menjawab tidak sebenarnya karena takut…
“Apa di rumah kamu punya masalah… dengan teman… dengan pelajaran saya ? “
“Tidak bu…”
“Di rumah…. Apa kamu ikut membantu orang tua cari nafkah… hingga di sekolah seakan tidak punya tenaga lagi untuk belajar…”
“Ya… bu… saya membantu bapak mencetak batu bata…”
“Bapakmu membuat batu-bata ?”
“ya bu…. Buruh batu-bata…”
“Bilang sama bapak, ya kalau kamu perlu waktu untuk belajar…bahkan bermain. Minta bapak untuk mengurangi pekerjaan yang berat untuk kamu…”
Faktor ekonomi… sangat mempegaruhi semangat belajar anak-anak didikku… itulah yang membuatku tak tega memaksa mereka menjejali materi bahasa Inggris yang terlalu sulit bagi mereka… aku tidak terlalu teoritis sesuai dengan kurikulum atau apa yang ada di buku… aku hanya akan memilih materi yang menurutku sangat mudah untuk dipahami walau sedikit, yang penting ada yang ‘nyanthol’. Banyak materi yang kurasa tidak sesuai dengaan kemampuan mereka harus aku lewati… kalau materi terasa sulit bagi siswa, biasanya mereka akan ‘down’ duluan.. semangatnya malah semakin rendah… namun aku tidak memungkiri kenyataan bahwa diantara mereka selalu ada keajaiban yang muncul. Entah karena faktor genetik atau kesadaran dari keluarga akan pentingnya pendidikan atau faktor lain, diantara anak-anak yang semangat belajarnya rendah dan kemampuan daya ingatnyapun kurang, selalu ada anak-anak yang sangat brilian, sehingga jika ada perbedaan yang terlalu mencolok terjadi di kelasku… selalu aku anjurkan bagi mereka untuk banyak membaca dan mencari-cari materi dari buku lain sebagai tambahan wawasannya yang mungkin tidak bisa aku penuhi mengingat aku mengikuti kemampuan sebagian besar siswa…
Factor ketiga adalah minat dan bakat. Sebagian besar murid laki-laki kalau kutanya apa hobi mereka , mereka menjawab main sepak bola… , cita-citanya… ternyata banyak juga yang ingin jadi pemain sepak bola…jadi atlit, pembalab, bahkan ada yang menyebut ingin jadi sopir (karena bagi beberapa dari mereka sopir terlihat kuat dan gagah).. anak yang memiliki minat di bidang praktis seperti olahraga…. Seni…. Bukanlah tempat mereka untuk mempelajari hal-hal yang banyak berteori, apalagi harus mengutak-atik rumus matematia… fisika… keinginan mereka adalah berlatih dan menghasilkan sesuatu… sayang kalau bakat mereka kemudian banyak yang tergilas oleh keharusan duduk menyelesaikan teka-teki matematika… fisika.. dan aneka teori yang pasti menjemukan bagi mereka. Ini SANGAT TIDAK ADIL !!… Pemerintah telah memaksakan semua siswa SMP untuk menerima pilihan mata pelajaran yang sama bagi tiap anak. Padahal di usia mereka, seharusnya sudah mulai merintis karya sesuai minat dan bakat mereka. Namun malahan semua orang tahu kalau di SMP anak –anak semuanya diarahkan agar berminat dan berbakat di bidang MIPA. Ini jelas terlihat dari porsi jam pelajaran yang di berikan pada mata pelajaran tersebut lebih banyak dari mata pelajaran lain, juga syarat kelulusan di Ujian Nasional. Bukankah ini ‘sangat membahayakan’ sekali bagi perkembangan bangsa dan negara ini kedepan ?  coba bayangkan kalau benar-benar mereka yang berbakat di bidang seni,  olah raga, ketrampilan, semuanya tiba-tiba ahli di bidang MIPA,  apalagi kalau pintarnya hanya mengutak –atik rumus atau menyelesaikan soal pilihan ganda dan tidak ada seorangpun yang kemudian mau  bermain peran dalam film, memproduksi film yang berimajinasi tinggi, menggambar kartun, menggambar komik, melukis, mengukir, memahat, membatik, merias , memangkas rambut, menjahit, mendesain baju, menyanyi, menulis lagu, menjadi pemain bola, pemain tennis, dan sebagainya dan sebagainya…ah… gila…  pasti muka –muka orang-orang negeri ini pada ‘mengharukan’!, karena puyeng cari baju, sepatu… layak pakai, mau ‘leyeh-leyeh’ sambil mendengar musik, atau nonton film, atau nonton bola , eh… musik dan filmnya pada nggak ada yang nyaman di mata dan telinga. Pada kemana itu seniman, olahragawan dan mereka-mereka yang berbakat di bidang-bidang lain selain teknologi ? eh.. ternyata juga sudah pada jadi pemecah rumus-rumus… aduh… belum lagi angka pengangguran akan semakin menumpuk, bukan hanya meningkat..tapi menumpuk… karena tidaklah mungkin semua bekerja di bidang teknologi… padahal teknologi sendiri lahir dan bisa berjalan karena ada bidang lain… seperti… ada telepon…televisi..internet… karena ada bahasa dan seni…ada traktor… karena ada pertanian , ada alat-alat canggih untuk menata rambut dan lain-lain… karena ada ketrampilan… ada bola.. ada mobil sport.. karena ada olah raga..ah.. pokoknya teknologi canggih itu ada karena ada bidang-bidang yang di layani, kalau yang dilayani mati , karena nggak ada yang memperhatikan… ya jelas… semuanya akhirnya bisa… MATI…
Cobalah mari kita lihat diri kita masing-masing. Apabila anda mendapat anugerah Tuhan memiliki bakat di bidang olahraga, dan tidak memiliki minat di bidang ilmu matematika, IPA, kemudian dipaksa memiliki nilai nilai tinggi di bidang yang tidak anda minati, bagaimana perasaan anda ?  Walau anda memiliki ketertarikan pada beberapa ilmu lain selain olahraga, akan tetapi anda tentunya akan tersiksa jika diharuskan lebih memfokuskan belajar pada bidang yang anda tidak memiliki bakat padanya serta tidak anda minati. Kemudian bagi anda yang memiliki ketertarikan di bidang  MIPA atau ilmu Pasti. Apakah anda pasti tertarik jika di haruskan mempelajari seni lukis,  mengarang cerita narasi, menjahit baju…? Mungkin anda masih memiliki minat dan bakat di beberapa ilmu lain selain ilmu pasti, akan tetapi apakah sudah pasti semua ilmu yang di sodorkan untuk anda pelajari akan menarik minat anda untuk mempelajarinya ? Tentu tidak bukan ? setiap orang pastinya memiliki segala sesuatu yang di sukai dan tidak di sukai, termasuk ilmu. Hal tersebut sudah menjadi proses alam, dan manusia tidak berhak memaksa manusia yang lain untuk memiliki minat dan bakat yang sama dengan dirinya. Kita ibaratkan dalam selera makan saja. Setiap orang memiliki makanan favorit dan makanan yang tidak di sukainya. Apakah manusiawi jika anda memaksa semua orang juga menyukai makanan favorit anda ? jelas tidak adil, karena Tuhan telah menyediakan jenis makanan yang luar biasa beragam jenis dan beragam pula kelezatannya. Maka yang terjadi, tidaklah mungkin semua orang akan berselera atau mampu menghabiskan makanan yang menurut anda paling lezat tersebut. Beruntunglah bagi mereka yang memiliki kesukaan sama dengan anda. Akan tetapi berpikirkah anda pada mereka yang tidak menyukai makanan tersebut ? atau bahkan malah mual, jangankan memakannya, mencium baunya saja bisa muntah ?  dimana rasa toleransi anda pada hak asasi manusia untuk bebas menentukan pilihannya ?
Pandangan yang berkembang selama ini bahwa mereka yang pintar di bidang MIPA, sudah pasti akan mampu menguasai bidang lain adalah salah besar. Mereka juga memiliki kelemahan pada bidang-bidang tertentu. Adapun kalau selama ini mereka yang berbakat di bidang MIPA, juga mampu menguasai ilmu-ilmu tertentu yang lain. Hal tersebut dikarenakan, mereka adalah orang-orang yang biasanya selalu mengikuti alur sesuai aturan , menerima apa adanya. Sedangkan mereka-mereka yang berbakat di bidang seni, bahasa , ketrampilan, olahraga, biasanya mereka (terutama yang memiliki potensi tinggi ), akan memberontak apabila aturan tidaklah sesuai dengan minat dan keinginan hati nurani mereka. Aku dapat berikan contoh dari yang kuamati langsung. Aku pernah memiliki kerabat yang waktu kelas satu dua SD masih pintar, akan tetapi ketika kelas 5 SD, bakat seninya mulai muncul dominan, sehingga membuatnya berontak dengan tidak mau mempelajari ilmu-ilmu yang tidak ia minati , dan mulai sering bolos sekolah. Karena pemberontakannya yang tidak sesuai dengan aturan sekolah, dia tidak dinaikkan ke kelas 6. Keluarganya akhirnya menitipkannya ke rumah kami di desa, agar dapat meneruskan sekolah di sekolah yang di kepalai oleh Bapak.  Karena merasa di tolong apalagi tinggal di rumah kami, anak tersebut  kemudian menjadi sangat giat belajar, sehingga dia mampu meraih prestasi ranking atas. Alhamdulillah ketika kembali ke keluarganya selulus SD,  dia mampu masuk ke SMP favorit di kotanya. Anak tersebut, tidak naik kelas bukan karena bodoh. Dia memiliki kecerdasan di bidang seni, yang selama ini tidak pernah dianggap sebagai suatu bidang ilmu yang memiliki potensi tinggi oleh pendidikan kita, sehingga harus di kesampingkan. Adapun untuk mempelajari bidang lain, dia tidak berminat. Akan tetapi kalau dipaksakan, mereka tetap bisa, karena mereka yang dianugerahi potensi tinggi, sebenarnya mampu pula di bidang lain, walau mereka itu akan menjadi lebih ahli, kalau berkecimpung langsung sesuai bidang ilmu yang menjadi minat dan bakatnya. Alhasil ketika lulus SMA dan kuliah mengambil jurusan seni, seorang anak yang dulu pernah tidak naik karena berontak dengan sistem pendidikan yang tidak banyak berpihak pada minat dan bakatnya, mampu menunjukkan pada semua orang bahwa minat dan bakatnya adalah di dunia seni, yaitu seni lukis. Karena di kemudian hari, dia ternyata mampu memenangkan lomba-lomba lukis di tingkat nasional, bahkan kemudian mulai mencoba pasar internasional.  Kesalahan sistem pendidikan yang hanya menganak emaskan pelajaran MIPA, tentu sangat banyak merugikan, mereka-mereka yang memiliki minat dan bakat di bidang lain. Mereka-mereka yang justru berpotensi tinggi dalam bidang yang dipandang sebelah mata oleh pemerintah, akhirnya memilih jalan sendiri untuk memberontak sistem pendidikan seperti yang dilakukan oleh Iwan Fals, yang mengaku sering bolos waktu sekolah,bahkan almarhum putranya yang memilih berhenti sekolah,  Anang yang bandel yang sempat mendapat komentar dari gurunya ‘mau jadi apa kamu kelak?’, bahkan seorang gus Dur yang aku baca biografinya pernah tidak naik kelas waktu SD, gara-gara terlalu banyak membaca buku di luar pelajaran sekolah yang akhirnya membuatnya enggan menyentuh pelajaran sekolah.. Toh akhirnya ketika merasa malu dan mulai giat mempelajari pelajaran yang diberikan sekolahnya, Gus Dur juga  mampu menunjukkan beliau bisa menjadi salah satu dari yang terbaik. 
Nah… sudah sangat jelas, kalau setiap orang memiliki minat dan bakatnya masing-masing, dan mereka masing-masing berhak mengembangkan potensi yang ada pada diri mereka secara resmi di sekolah, dengan bimbingan yang lebih profesional dari guru. Selama ini yang berbakat di bidang seni, olahrga, ketrampilan… menjadi ‘hebat di bidangnya’, karena mau ‘memberontak’, dari aturan sekolah.  Seharusnya mereka menjadi lebih hebat lagi kalau sekolah resmi bersedia mewadahi minat dan bakat mereka.
 Seorang yang memiliki bakat MIPA, hanya akan ahli bidang MIPA dan beberapa bidang lain yang di minati, tapi tidak akan menjadi ahli pada bidang yang tidak diminatinya. Seorang yang berbakat di bidang olahraga, akan menjadi ahli di bidangnya dan beberapa bidang tertentu, juga tidak akan ahli di bidang yang tidak diminatinya, seorang yang ahli seni atau Bahasa, bisa menjadi ahli pula dalam bidang lain, tapi tidak akan ahli dalam bidang yang tidak diminatinya…semuanya hanya akan mampu ahli di bidang tertentu, tidaklah mungkin ada seseorang yang ahli pada semua bidang… mustahil… Nah… kalau semua bidang hanya akan menjadi ‘hebat’ di tangan ‘ahlinya’, kenapa, mereka yang memiliki keahlian di bidang, seni, olah raga, ketrampilan… tidak mendapat kesempatan yang berarti oleh pengelola negeri ini untuk menjadi yang terbaik di bidangnya ? kenapa mereka diharuskan mendalami ilmu –ilmu yang bukan pilihan  dan kebutuhannya ? Wah..wah … sudah berapa banyak anak-anak bangsa ini yang di rugikan dengan sistem pendidikan semacam ini… sudah berapa banyak minat dan bakat yang menguap gara-gara titik berat pendidikan yang hanya memeluk mereka yang berbakat di bidang tertentu saja….ini sama dengan mengingkari ‘kebesaran Tuhan ‘ yang telah menganugerahi masing-masing anak dengan minat dan bakat yang berbeda, kekuatan yang berbeda baik fisik maupun otak, agar manusia saling tolong menolong dan menjadi bermanfaat satu sama lain… kalau akhirnya di haruskan sama… wah… wah…ironis… ironis sekali …
Sebagaimana layaknya ‘penonton bola’ yang menganggap ‘mengegoalkan’ bola itu mudah, aku berpendapat bahwa sebenarnya mudah kok menanggulangi pengangguran di negeri ini… kuncinya hanya pengakuan dan pengembangan aneka minat dan bakat sejak dini… sekolah bukan untuk ijasah,.. karena ijasah larinya selalu kearah melamar pekerjaan.. padahal… kalau semua diarahkan hanya menghargai ‘ijasah’ dan pada enggan membuka usaha. Lalu kemana mereka  semua akan memanfaatkan ‘ijasah’ untuk melamar pekerjaan ? Tidak mungkin ‘kan pemerintah yang telah menciptakan pendidikan negeri ini dengan hasil ‘nilai-nilai ijasah’ itu bersedia menampung semua lulusan untuk menjadi PNS ? Tidak mungkin ‘kan kita terus- menerus hanya menjadi ‘bawahan-bawahan’ pengusaha asing ? Masih banyak potensi dari sumberdaya manusia kita yang sebenarnya sangat berbakat, yang seharusnya bisa menjadi pimpinan-pimpinan perusahaan, aneka bidang usaha yang bisa dikembangkan melalui kreatifitas. Namun karena kesalahan cara mendidik serta permasalahan modal.. membuat banyak sumberdaya manusia kita ini akhirnya banyak terbengkalai…
Kita harus menyingkirkan dulu kemewahan yang berlebihan di negeri ini untuk mendidik dengan benar anak-anak kita , melatih, membina dan memodali usahanya. Negara ini harus memulai segalanya lebih awal lagi… lucu… kalau sudah bermewah-mewahan, bersolek dengan cantik dan berlenggak-lenggok memameran keelokan… sedangkan… pada tubuhnya masih banyak borok-borok yang harus di sembuhkan…
Yang keempat adalah factor gizi. Tampaknya tidak dapat dipungkiri kalau gizi sangat mempengaruhi semangat serta daya tangkap siswa-siswi dari keluarga kurang mampu. Kadang aku prihatin…. Kok bisa-bisanya negara gemah ripah loh jinawi, ‘ijo royo-royo’ ini sampai rakyatnya banyak yang kekurangan gizi. Ah… sangat tidak pantas untuk negara subur makmur ini kalau harga pangan saja sangat mahal, hingga malah ada yang terpaksa makan ‘nasi aking’. Lha… ada unsur gizi apa itu dalam ‘nasi aking’ ? Pengelolaan alam, sumber kekayaan alam dan sumber-sumber daya manusianya melalui sistem pendidikan  yang masih kurang tepat telah mengakibatkan ketidak adilan dan ketidak merataan kesejahteraan bagi seluruh rakyat negeri ini. Benar memang kalau banyak orang desa memelihara sapi… namun sayang mereka hanya bisa memelihara… tapi sangat jarang menikmati daging sapi sendiri… apalagi susu sapi… seperti halnya seorang kuli bangunan… mereka dapat membantu membuat bangunan-bangunan yang megah…. Namun banyak diantara mereka yang tidak dapat menikmati hidup tinggal di sebuah bangunan yang layak…
“Sudah… sekarang siapa yang ingin tahu lebih banyak tentang Diana?” aku meminta anak-anak untuk mengajukan pertanyaan. Tapi mereka hanya diam tidak bereaksi…. Aku mencoba membiarkan mereka punya inisiatif sendiri untuk berani mencoba… berani bertanya… namun akhirnya…“Coba itu yang tengah… siapa namanya… “ aku menunjuk salah seorang anak laki laki yang duduk di bangku paling tengah untuk mengajukan pertanyaan… tapi dia Cuma diam…” ayo…masak tidak ingin bertanya…”dia tetap diam sambil tertunduk tersipu….
“Ayo… kamu bisa tanyakan apa hobimu… makanan kesukaan… nah… banyak yang bisa di tanyakan ?” Dia tetap tidak mau bertanya… hanya tersenyum senyum saja…. Apa sebenarnya yang salah dengan sistem pendidikan di negeri ini ? Aku kira sekolah butuh lebih banyak guru psikologi untuk terjun di kelas-kelas… karena banyak anak ternyata belum mampu mengatasi situasi yang mereka perlu harus lakukan…. Ah…. Namanya anak-anak… lha wong orang-orang ‘wis podho tuwo umure’ di negeri ini saja banyak yang kurang sehat kejiwaannya. Buktinya kalau pada bener-bener sehat, tentu mereka tidak akan melampiaskan penyelesaian masalah dengan cara melakukan penyimpangan, seperti berdusta, curang-menyurangi, suap menyuap, berzina, dzalim menzalimi, bahkan orang-orang kaya itu banyak yang masih merasa melaraat saja, hingga bawaannya ingin korupsii saja…rupanya banyak yang pendidikannya harus diulang dan diajari lagi ilmu kejiwaan…biar tenaang… kalau tenang ‘kan nggak pingin ‘polah’ macem-macem…
“Apa hobi kamu !” tiba tiba terdengar suara seorang anak-laki-laki nyeletuk mengajukan pertanyaan pada temannya…
“Bagus…” aku gembira mengetahui pancinganku sudah mulai mengena… sudah ada salah satu anak yang mulai berani mengajukan pertanyaan…
“Yang lainnya… ada pertanyaan…?” aku kembali memancing anak-anak untuk bertanya kembali setelah Diana menjawab pertanyaan murid pria tersebut… tampaknya hening kembali….
“Ayo… banyak ‘kan yang tadi ibu sudah contohkan ?”
“Apa makanan kesukaanmu…” Kali ini seorang anak perempuan yang kelihatnnya cukup jelas dan keras suaranya mulai bertanya….
“Cita-citaku jadi pemain sepak bola !” Hadi murid baru ke dua puluh  mengakhiri perkenalan dirinya dengan menyebutkan cita-citanya….
“Bagus… ibu senang karena dari tadi cita-cita kalian beragam… ada yang ingin jadi guru seni, ada yang ingin jadi pengusaha… bahkan Hadi ingin jadi pemain sepak bola…”
Namun kemudian aku jadi kaget ketika hampir semua anak laki-laki dari kelas ‘Panglima Sudirman’ ini ternyata ingin jadi pemain sepak bola, hanya seorang anak saja yang mengatakan ingin jadi tentara….
“Waduh… hebat… ternyata hampir semua anak laki-laki di kelas ini punya bakat dibidang olahraga…” itulah kemudian yang membuat aku kemudian miris… apalah artinya cita-cita mereka… kalau di sekolah mereka tidak punya banyak waktu untuk berlatih… bakat mereka di bidang olahraga… sedang olah raga hanya mendapat jatah waktu 2 jam pelajaran seminggu… di tambah ekstra kurikuler…..
 “Anak laki-laki di kelas ini hobinya apa saja…”
“Sepak bola bu..!” sebagian besar menjawab demikian…
“trus… cita-cita kalian apa… “
“Jadi pemain sepak bola Bu !” Kembali sebagian besar anak laki-laki menjawab hampir serempak…
Suatu kali aku pernah bertanya pada kelas 9, hal ini kutanyakan karena aku sering di buat kesal anak-anak yang malas belajar di kelas… atau malah ada yang hanya membuat suasana kelas gaduh, dan guru sulit menerangkan materi pada murid yang lain, tetapi ternyata kadang malah punya prestasi di bidang olah raga… seni… walau toh ada memang yang hanya membuat gaduh di kelas karena memang sudah memiliki pembawaan demikian.. atau mungkin karena pelampiasan dari masalah-masalah yang di hadapi dan tak mampu di selesaikannya..
“Kalau saya perhatikan mulai pertama saya menjadi guru…. Anak-anak yang memiliki hobi…. Dan bakat di bidang praktek , tidak menyukai pelajaran teori, ya… apa benar begitu ?”
“Benar bu…. Sangat jenuh…. Jenuh sekali…. !” seorang anak laki-laki yang pernah menjadi juara tingkat propinsi lomba gulat menjawab dengan mimik muka sangat serius kepadaku… seketika hatiku menjadi sangat haru… betapa tidak adilnya !Mereka yang memiliki bakat di bidang seni…. Olahraga… dan semacamnya….  seharusnya memiliki waktu lebih banyak untuk berlatih di lapangan guna menemukan trik-trik dan pengembangan metode baru dalam bermain… namun tidak bisa berbuat banyak… mereka terpaksa harus mengikuti aturan sebuah sistem pendidikan yang mengharuskan mereka lebih banyak duduk dan menulis di kelas…  Mereka bahkan hanya di cap jadi anak-anak nakal, mblarah, kendo, ndablek, trouble makers dan bahkan sering jadi bulan-bulanan sanksi tata tertib sekolah,  karena pemberontakan mereka hanyalah dengan cara melanggar aturan-aturan sekolah… 
Sekolah kita yang menyentuh seluruh anak bangsa sudah saatnya mempertimbangkan  dimulainya pengembangan dan penyaluran bakat anak mulai dini…penyaluran bakat dari SMA terasa ‘telat’, karena dari SMP anak sudah dapat merasakan minat dan bakat yang mereka ingin lebih tekuni. Selama ini sekolah hanya banyak berpihak pada mereka yang menyukai pelajaran teori… mereka yang berbakat praktek terabaikan…padahal umumnya dunia anak laki-laki adalah dunia praktek,  sedangkan dunia sekolah banyak menawarkan teori yang berjubel dan bertele-tele…..itukah yang membuat murid-muridku sebagian besar anak-laki-lakinya pada ‘loyo di kelas’? 
Seorang michael Jackson tidak akan menjadi seorang King of Pop yang sangat kreatif dalam menulis lagu dan menemukan gerak tari yang sangat sepadan dengan music yang mengiringi lagu-lagunya kalau ia tidak mengawali kariernya di bidang musik mulai usia 7 tahun… seorang Thomas Alfa Edison tidak akan mampu menemukan bola lampu dan proyektor film kalau ia tidak keluar dari sekolah di kelas 3 SD yang mengajarinya banyak teori yang tidak ia butuhkan sesuai minat, bakat dan rasa ingin tahunya… seorang Henry Ford tidak akan mampu mengembangkan bisnis perusahaan mobil raksasa dunia… kalau tidak memulai belajar mesin… ketika bekerja di perusahaan arloji di usia 12 tahun…
Suatu saat aku mencoba mendekati salah seorang muridku yang amat sangat tidak mau merespon pelajaran Bahsa Inggris yang aku ajarkan di kelasnya. Dia tidak nakal, tidak pernah meninggalkan kelas di jam pelajaran, dia tidak pernah membuat onar dengan berbicara sesama teman atau membuat gaduh di kelas. Dia hanya sangat malas mengerjakan latihan-latihan di kelas, tidak mau mencatat, sering ketinggalan mengumpulkan tugas.. kalau diingatkan dan ditanya hanya senyum-senyum saja.. ulangannyapun sering tidak di selesaikan..
“Tolong kamu berterus terang , apa sebenarnya masalahmu sehingga enggan belajar Bahasa Ingris. Apakah kamu tidak suka ? “ Dia hanya tersenyum “atau kamu punya masalah?” dia juga Cuma tersenyum. Setelah aku tanyakan berbagai kemungkinan dia hanya menjawabku dengan senyuman, akhirnya…
“Kamu pasti punya hobi ‘kan ? Apa kegiatan yang paling kamu sukai ?”
“Saya suka berternak, Bu….”
“Suka beternak… kamu sudah mencobanya di rumah ?”
“Sudah, bu!”
“Beternak apa kamu…”
“Bebek….”
“Lalu.. cita-citamu ?”
“Saya ingin jadi peternak yang sukses !”
Sebenarnya kelihatan sederhana cita-cita itu… namun bisa berdampak besar apabila ia mampu mewujudkan cita-cita tersebut. Memang benar cita-cita di usia sedini itu masih dapat berubah-ubah. Akan tetapi ini juga bisa jadi ide luar biasa yang bisa mulai di kembangkan sejak dini. Jika sebuah sektor di bidang peternakan dapat ditangani dan di kembangkan dengan baik, maka dari sektor ini saja akan banyak tenaga kerja yang terlibat di dalamnya , mulai pengelolaan., pengolahan… penyaluran… bahkan sampai penjualan… sebuah cita-cita yang terasa tidak terlalu hebat di telinga kita… tetapi telah menunjukkan pada kita… betapa walau dia kelihatan anak pemalas di kelas… ia telah memiliki visi dan misi untuk mandiri… tanpa harus menggantungkan pemerintah atau instansi lain untuk mendapatkan pekerjaan, nafkah untuk hidup sehari-hari. Hanya sayang… mungkin karena visi dan misinya ke depan tidak di temui di sekolah… membuatnya kemudian enggan mempelajari pelajaran lain..
Coba bayangkan kalau kita bina anak-anak kita, baik yang putus sekolah maupun yang mampu melanjutkan ke sekolah tinggi, menjadi peternak sapi perah misalnya.. selain mereka dapat memperoleh manfaat mandiri, rakyat kita juga akan dapat membeli susu dengan harga murah… masyarakat kita banyak yang kurang dalam hal gizi… menuntut anak bangsa ini dengan tuntutan yang berlebihan adalah ‘banyolan’ belaka. Kita tidak bisa mengukur kemampuan bangsa ini hanya dengan perwakilan segelintir dua gelintir orang yang memang telah memiliki potensi  dan kesejahteraan cukup tinggi di daerah-daerah perkotaan khususnya. Gizi harus kita perbaiki dulu, mulai lewat pendidikan serta usaha pembangunan desa… masyarakat kita ketinggalan dari negara lain… terutama negara maju… benar… karena kita terlalu lama di jajah… kekayaan alam kita yang kaya raya tidak dapat kita nikmati… akibatnya turun temurun masyarakat kita hanya makan seadanya.. semuanya telah dihisap oleh para penjajah, hanya mereka yang kebetulan mendapat jabatan saja yang mungkin dapat menikmati gizi lebih baik… dan sekarang kalau kita salah dalam memanfaatkan kekayaan alam dan salah dalam mendidik sumberdaya manusianya… kita tidak akan pernah bisa mendapatkan hasil sesuai yang kita harapkan bersama… bahkan dengan sistem yang tidak benar akan semakin mempurukkan kondisi bangsa dan negara ini. Negara kita ini sangat kaya lho….. bukan hanya dari segi kekayaan alam… masyarakat kitapun sangat piawai dalam seni, aneka kerajinan dan nenek moyang kita juga pandai meramu obat-obat mujarab, menyembuhkan penyakit dengan pijat, alternatif …. Sayang….. gara-gara yang di urusi Cuma teknologi, masyarakat akhirnya menganggap sektor lain tidak penting….  Kita harus mulai hidupkan seluruh bidang kemandirian yang ada dengan didukung potensi yang ada pada sumberdaya manusia dan alamnya.  Kita gali semuanya agar menjadi pegangan hidup setiap warga negara dan akan memberi dampak positif bagi seluruh rakyat. Yang berbakat teknologi diarahkan sejak dini agar banyak tumbuh produk ‘made in Indonesia’ , yang berbakat di bidang bahasa dan seni juga di gembleng sejak dini, agar marak ‘film bermutu, mendidik, berimajinasi dan berteknologi tinggi bertaraf internasional buatan Indonesia’, yang berbakat di bidang olahraga harus banyak berlatih sedini mungkin, agar ‘PSSI mampu menjadi juara dunia’… dan sebagainya, dan sebagainya.
Negara kita adalah negara agraris. Kalau mau di kembangkan dengan sangat baik di sekolah, sektor pertanian , baik itu petani sayur,  bahan makanan pokok, buah, tanaman obat, serta  kebutuhan yang lain…. Sektor ini bisa di jadikan sektor yang sangat bergengsi…. Pertanian tidak boleh dianggap remeh… kebutuhan utama kita berasal dari sektor ini…. namun akhir-akhir ini banyak orang enggan menjadi petani karena dianggap pekerjaan orang-orang yang tidak berpendidikan… orang tidak sekolahpun bisa jadi petani…. Di sinilah permasalahan yang membuat bahan pokok kebutuhan sehari-hari di negara kaya potensi alam ini malah menjadi sangat mahal…. Kalau semua orang diwajibkan pergi ke sekolah, akan tetapi profesi sebagai petani dianggap pekerjaan orang-orang tak berpendidikan… lha…. Suatu saat nanti…. Mana ada yang mau jadi petani…. Mana ada yang mau menanam padi…. Semuanya maunya bekerja di kantor… ongkang-ongkang duduk di kursi empuk … dapat setoran gaji berlimpah… seragam bersih dan wangi…. Yah… tapi pada kelaparan… atau pada mengandalkan impor bahan makanan…. Mungkin tak masalah bagi yang memegang duwit banyak… impor… dan terus impor… no problem… toh tetap bisa makan…. Bahkan makanan enak dari impor juga sangat lebih bervariasi daripada makanan kita sendiri yang dianggap ‘ndeso’, ketinggalan jaman dan tidak dikembangkan dengan baik…. Dengan kekayaan alam yang berlimpah dan orang-orangnya yang sebenarnya sangat kreatif dalam mengolah makanan lezat, sebenarnya bukan hanya Kentuchy atau Mc Donald, atau bisnis makanan-makanan asing saja yang bisa menjadi industri makanan raksasa yang mampu merambah pasar mancanegara…. Anak bangsa kita juga bisa kok menghasilkan kreatifitas dalam bidang kuliner yang seharusnya bisa menyaingi kepiawaian para peramu kuliner dari bangsa-bangsa lain . Hanya saja asal.. di dukung oleh dunia pendidikan yang mengisyaratkan pentingnya pengembangan diri dari berbagai bidang… bukan hanya ‘teknologi’. Lihat itu bangsa-bangsa yang sudah maju, mereka menghargai seluruh bidang ilmu, mereka mengapresiasi kreatifitas di bidang apa saja, baik itu fashion, seni, olahraga…yah pokoknya semua bidang yang bermanfaat untuk orang banyak adalah … bahkan di jepang banyak lomba memasak, serta aneka kreatifitas, salah satunya termasuk lomba ketrampilan para tukang kayu… eh… kok di negara kita, kerajinan tangan malah dikesankan ilmu yang rendah. Yang dianggap hebat, ironisnya malah yang hanya pintar bicara, mengutak-atik rumus, tapi tangannya belum tentu mampu menghasilkan karya… pantas… kreatifitasnya pada macet… Apa dikira sepele itu pekerjaan yang menyangkut ketrampilan ? pandangan salah bangsa kita harus segera di luruskan, mereka hanya menganggap orang berhasil hanyalah orang yang mampu menggunakan ijasahnya untuk masuk kerja, seperti pegawai negeri, pejabat, atau pegawai-pegawai perusahaan yang berseragam dan berdasi. Padahal mereka yang mampu mandiri dengan kreatifitasnya sendiri, tidak kalah hebatnya. Tidak gampang membangun suatu usaha dengan kreatifitas sendiri. Tidak semua orang mampu membuat dan mencipta karya dari ketrampilan tangan. Suatu karya yang lahir dari ketramplan tangan, bukan hanya mengandalkan ketekunan, ketelatenan dan kelincahan tangan, akan tetapi juga membutuhkan kecerdasan otak. Tidaklah mungkin seseorang menghasilkan suatu karya bernilai tinggi kalau otaknya tidak berpotensi tinggi. Contoh kecil saja membuat ketupat. Tidak semua orang yang diajar membuat ketupat mampu dan tlaten membuatnya. Apakah membuat ketupat tidak di perlukan kecerdasan ? lho… kalau tidak memakai otak… bagaimana cara mengingat langkah-langkah rumit menganyamnya, apalagi yang mampu menciptakan cara membuat ketupat serta aneka model ketupat yang lebih variatif. Sudah jelas ‘kan mereka bukan orang bodoh atau sepele hasil karyanya ?
Masing-masing sekolah harus mulai diarahkan untuk segera membidik semua sektor yang dapat di kembangkan dalam masyarakat…. Ini mengenai fakta bukan hayalan… ilmu-ilmu yang dikembangkan dan dipelajari anak-anak di sekolah harus mulai mengarah pada fakta yang akan terjadi dan dihadapi dalam masyarakat. Jangan hanya berupa teori-teori , hasil hapalan dan otak-atik rumus saja. Karya nyata harus segera di wujudkan dan di suguhkan hasilnya pada masyarakat, bahwa inilah dunia pendidikan kita. Untuk itu masing-masing sekolah, jangan lagi hanya ditagih hasil RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran.) nya saja, yang dapat di rekayasa dan di manipulasi oleh para guru. Akan tetapi pemerintah harus mulai meminta tiap sekolah mampu menunjukkan hasil dan karya nyata yang telah mampu di buat dan di hasilkan oleh anak-anak didiknya dalam sumbangannya pada kehidupan bermasyarakat. Hasil pendidikan yang hanya sebatas ‘nilai’, ‘nilai’ dan ‘nilai’… telah menimbulkan banyak manipulasi, rekayasa dan kepasifan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara… dipastiokan akan dihadapi oleh mereka dalam kehidupan nyata. ang hanya berdasar imajinasi anak...   
“Bagus… ternyata walaupun ibu lihat sangat ‘males-malesan’ belajar bahasa Inggris… ternyata kamu masih punya kegiatan yang positif… teruskan hobi kamu… dan cari buku-buku yang bisa memberi kamu tambahan ilmu untuk beternak… tapi… karena di sekolah kamu di beri waktu belajar bahasa Inggris… Bahasa inggrinya juga harus di pelajari…banyak ilmu pengetahuan di tulis dalam buku berbahasa Inggris…siapa tahu nanti ada gunanya untuk kamu…“
Pernah aku memiliki seorang murid lain yang cuma diam saja di kelas… tidak membuat onar.. tapi juga hanya diam saja… selain sangat lemah penguasaanya dalam materi… hal yang membuatku sering jengkel.. adalah ulahnya yang sering melarikan diri saat jam pelajaran bahasa inggris belangsung… hal itu bukan terjadi pada pelajaranku saja, akan tetapi mata pelajaran-mata pelajaran yang lain, sehingga ia jadi bulan-bulanan sanksi tata tertib.. hukuman-hukuman karena pelanggaran yang di buatnya telah berkali-kali ia jalani, dan cap ‘anak nakal’ telah menempel padanya… namun… berkat tangan dingin seorang guru Olah Raga… dia berhasil menjadi juara pertama gulat di tingkat propinsi.. dan dia terus.. meraih kejuaraan… hal itulah yang kemudian menyadarkanku bahwa ‘dia memiliki pilihan ilmu yang ingin dipelajarinya sendiri’…
‘Andi’ , si juara gulat, begitu saja kita sebut namanya, masih agak beruntung… walau dia telah banyak mendapat skor pelanggaran, dia masih bisa terus naik kelas dan lulus sekolah dengan lancar, karena waktu itu belum di tegakkan ketentuan yang lebih keras untuk memberi sanksi mereka yang membuat pelanggaran dengan tidak meloloskan mereka ke kelas yang lebih tinggi..
Aku pernah menjadi wali kelas seorang anak yang tidak terlalu pandai, tapi sangat aktif mengikuti pelajaranku. Selain itu dia juga aktif dalam kegiatan-kegiatan di kelas, sehingga kami pilih dia menjadi ketua kelas 7 waktu itu. Dia memang agak nakal, tapi aku suka dengan ringan tangannya yang suka membantu dan mudah jika aku minta untuk membuat program di kelas… selain itu dia juga sering punya ide untuk membenahi kelasnya. Aku tidak melihat anak itu terlalu bermasalah, bahkan aku salut dengan jiwa kepemimpinannya. Ketika ada lomba gerak jalan, dia sangat antusias memimpin teman-temannya. Dia sangat rajin berlatih, sampai-sampai kelompok yang dipimpinnya berhasil keluar sebagai juara pertama lomba gerak jalan antar kelas mulai kelas 7 sampai kelas 9.
Akan tetapi ketika ia naik ke kelas  8, ternyata banyak guru yang mulai mengeluhkan tingkah lakunya… dia mulai banyak meninggalkan kelas di saat jam pelajaran. Orang tuanya telah berkali-kali di panggil oleh pihak sekolah, namun dia tetap saja tidak merubah kebiasaannya yang sering meninggalkan kelas di saat jam pelajaran berlangsung. Alhasil… ketika kenaikan kelas di rapatkan… dia di putuskan untuk tidak naik kelas.. akan tetapi sekolah akan memberi tolerir di naikkan… dengan syarat , dia harus mencari sekolah lain, atau tetap di sekolah kami dengan konsekuensi tidak naik kelas…  sebagai seorang guru yang pernah mengenalnya dengan baik, sekaligus pernah merasa senang dengan hasil kepemiminannya sebagai ketua kelas, aku ikut sedih mendengarnya. Dulu sewaktu mau kenaikan kelas ke kelas 8, aku bahkan sempat memberinya hadiah, dan kunobatkan saat itu sebagai ketua kelas yang ‘ sangat kooperatif’. Ternyata di kelas 8 dianggap banyak membuat pelanggaran dan harus tinggal kelas. Apalagi aku tahu bapaknya hanyalah seorang tukang becak… apa boleh buat… kedisiplinan harus ditegakkan… kalau saja kedisiplinan itu masalah berlatih di lapangan… aku yakin dia sangat disiplin… karena dia sangat antusias dalam bidang olahraga… dia juga termasuk team sekolah yang memperkuat regu sepak bola…walau aku sempat sedih.. aku masih terhibur dengan jiwa yang aku sebut tadi ‘jiwa kepemimpinan’… mentalnya sangat siap menghadapi sesuatu yang buruk…nyatanya dia tidak memilih pindah ke sekolah lain agar bisa naik kelas… tapi dia tetap bertahan di sekolah kami, walau harus jadi satu-satunya anak  tinggal kelas yang masih bertahan bersekolah di sekolah kami.
Mereka hanyalah beberapa contoh anak-anak yang membuat masalah di kelas..namun ternyata memiliki keahlian dan kemampuan yang sebenarnya sangat menonjol di bidang lain, yang tidak terlalu diperhatikan oleh dunia pendidikan kita. Masih banyak anak lain yang kerjanya hanya duduk di kelas… kalau guru tidak keliling, bisa-bisa dua jam pelajaran, hanya di gunakan untuk duduk saja, ada yang ngobrol, ada yang diam sambil melamun…. Bahkan kalau tidak di kontrol… bukunyapun masih ada dalam tas… kalau di tegur di suruh mengeluarkan… baru di keluarkan…lalu.. sebenarnya ini salah siapa.. ? anaknyakah ? atau sistem pendidikannya yang tidak berpihak pada kebutuhan anak-anak didiknya ?
Yah… anak-anak bangsaku…teruslah berjuang… semoga para penentu nasib bangsa ini segera sadar… bahwa masih banyak anak bangsanya yang berada di bawah garis kemiskinan dan mendamba bimbingan, tuntunan serta bantuan untuk bisa hidup mandiri…serta mampu menghadapi masalah hidup dan kehidupan menjadi lebih baik…semoga beliau-beliau juga menyadari bahwa setiap anak telah dianugerahi minat dan bakat yang beragam dan berbeda oleh Tuhan Yang Maha Esa atas dasar keadilan bagi umat manusia serta alam semesta, yang harus diakui dan dikembangkan semenjak dini…  
Akan tetapi apakah pendidikan negeri ini belum berhasil mendidik anak-anak bangsanya ? bukankah banyak orang-orang cerdas lahir dimana-mana ? bukankah anak-anak kita juga sering menjuarai lomba olimpiade MIPA di luar negeri ? Benar… memang negara ini telah berhasil mendidik anak-anak bangsanya untuk menjadi orang-orang cerdas. Buktinya selain sering menang di Olimpiade internasional , lihatlah di televisi-televisi, mereka sudah semakin kritis dan sangat dapat diterima oleh akal sehat apabila berpendapat… mereka sudah benar-benar sangat cerdas… hebat…jeli…kritis…tapi sayang… kecerdasan dan kehebatan itu hanyalah sebatas kecerdasan berpikir, bukan kecerdasan dalam menahan hawa nafsu serta memanfaatkan tanggannya trampil untuk melakukan serta menghasilkan sesuatu. Ini bukti bahwa keberhasilan pendidikan di negeri ini baru sebatas kecerdasan ‘otak’ dan belum sampai pada kecerdasan skill dan kecerdasan emosional.
Jangan biarkan negara ini menjadi negeri Spongebob. Spongebob si tokoh utama adalah seseorang yang sangat baik hati serta memiliki kepedulian yang tinggi pada sesama, akan tetapi sayang dia bodoh.  Squidward adalah sosok orang cerdas, namun sayang hatinya di penuhi kedengkian serta niat-niat dan ambisi buruk. Dan Tuan Krab yang cerdas dan kreatif adalah sosok orang pintar dan sukses yang rakus pada harta, sehingga hidupnya hanya memikirkan uang, uang dan uang , kalau perlu dihalalkannya segala cara , asalkan itu demi uang…
Sudah saatnya semua pihak menyingsingkan baju untuk tidak membiarkan system pendidikan ini menghancurkan anak-anak bangsanya sendiri. System pendidikan yang hanya membekali anak-anak bangsanya dengan kecerdasan otak yang hanya diukur dengan nilai-nilai telah membuat anak-anak bangsa hanya menjadi generasi yang menggantungkan diri pada instansi pemerintah dan kreatifitas-kreatifitas pihak asing yang membuka usaha dan peluang kerja bagi lulusan-lulusan sekolah.
Aku ingin mendengar orang tua-orang tua dari keluarga kurang mampu memberi dorongan semangat pada anak-anaknya untuk bersungguh-sunguh bersekolah, karena yang sering sampai padaku selama ini orang tua-orang tua banyak yang tidak ingin anak-anaknya meneruskan sekolah dengan alasan, “Untuk apa meneruskan sekolah, toh belum tentu jadi pegawai, kita tidak punya biaya untuk ‘nyogrok’ (nyuap)”, “untuk apa neruskan sekolah, paling-paling juga nganggur, lebih baik segera bekerja apa saja , yang penting dapat uang, sekolah hanya menghabisan uang..” dan sebagainya-sebagainya, yang menunjukkan kepesimisan banyak keluarga tidak mampu yang melihat hasil pendidikan sangat minim, serta hanya sekedar memakai tolok ukur ‘ijasah’. Aku ingin segera mendengar ucapan mereka pada anak-anaknya berubah menjadi dorongan penuh optimisme seperti, “ Belajar yang giat nak… lihat… mereka-mereka yang bersekolah… ada yang jadi pegawai negeri, pejabat… tapi banyak juga yang sukses menjadi pengusaha, karena mendapat bantuan dana dan beasiswa usaha dari pemerintah…”, “giatlah belajar di sekolah nak, si anu kreatif membuat ‘ini’ karena di ajar di sekolah, dapat melakukan ‘itu’ untuk sukses mandiri, juga hasil dari sekolah… “  . “Lihat…itu mereka yang pada sekolah, menjadi anak-anak yang santun , taat beribadah, bermoral mulia… sangat membuat bangga dan menyenangkan hati orang tua dan orang-orang di sekitarnya…”
Hal tersebut tentunya juga membutuhkan partisipasi dari mereka-mereka yang telah sukses di bidangnya masing-masing, untuk ikut andil menularkan ilmu serta keberhasilan mereka pada anak-anak generasi bangsa ini… Anak-anak kita membutuhkan pembinaan rohani, kursus-kursus ketrampilan dan pengembangan bakat yang dapat meningkatkan keaktifan, kreatifitas, pembentukan sikap perilaku yang lebih baik dan benar, bukan hanya belajar atau kursus latihan soal-soal pilihan ganda saja….
Akan tetapi…. Bagaimana dengan murid-muridku… dan murid-murid di sekolah-sekolah yang sebagian besar datang dari keluarga kurang mampu ? Ikut kursus? Bukankah akan mahal biayanya ? Lha wong belajar di sekolah pamerintah yang gratis saja ada yang masih merasa berat… bahkan sampai ada anak yang pergi ke sekolah tanpa uang saku… masyaAllah… adakah yang bisa menolong anak-anak negeri ini agar dapat hidup lebih baik ???