Pak Wagiman tersentak kaget ketika namanya tidak tercantum dalam daftar kepala sekolah yang lolos test. Ia sempat agak shock. Pasalnya, pak wagiman sudah terlanjur merasa dirinyalah salah seorang guru yang pantas untuk diangkat menjadi kepala sekolah. Wajar…selama ini ia sudah mengantongi beberapa penghargaan seperti menjadi guru teladan tingkat kabupaten, guru berprestasi nomer 1 tingkat kabupaten, kemudian sederetan prestasi sebagai pengurus berbagai macam organisasi, baik itu organisasi sosial, maupun dalam bidang pendidikan sendiri. eh… tapi kok malah ia tidak masuk dalam daftar angkatan kepala sekolah ? malahan…masyaAllah… pak Badri, salah seorang rekan guru dari sekolah lain yang pernah mendapat kasus, karena di demo murid-murid, akibat seringnya tidak mengajar di kelas, tapi begitu masuk, hanya melakukan tekanan-tekanan pada siswa, eh…malah lolos dari seleksi pengangkatan kepala sekolah. Sungguh tidak adil ! Negara ini sudah bobrok, hingga memberi kewenangan pada seseorang saja, bukan atas dasar pertimbangan prestasi kerja, kecakapan, kreatifitas, moralitas, namun atas dasar ‘sak karepku to!’. Maklum…yang bagian nyaring dulunya paling-paling juga menduduki posisi tersebut, juga hasil dari ‘sak karepku to!’….
Sakiit…sekali hati pak Wagiman menerima kenyataan yang menzalimi keadilan ini…
‘Gila…gila…siapa yang dapat memperjuangkan kebenaran di negeri ini. Negaraku telah dikuasai oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Kebenaran dan keadilan sudah tidak ada artinya di negeri ini…’
Semalaman pak Wagiman tidak dapat memejamkan mata. Hatinya gundah dan amat sangat kecewa.
“Mungkin seharusnya aku tidak terlalu idealis. Aku bisa merebut jabatan itu dengan uang. Toh aku tidak terlalu salah, aku juga berkompeten di bidangku. Aku bukan tidak punya potensi apa-apa. Tapi aku memang layak untuk menduduki posisi tersebut. Daripada pak Badri, aku tidak sombong , dari segi apapun, aku menang. Paling-paling dia bisa lolos,juga lewat ‘jalan belakang’. Tidak mungkinlah rasanya …kalau mau sama-sama fair, dia bisa lolos, sedang aku tidak. Ah… aku menyesal, seharusnya aku lebih memperjuangkannya. Aku terlalu percaya pada kejujuran….”
“Tapi tidak…” Tiba-tiba pak Wagiman membantah sendiri pernyataan dalam hatinya tersebut….
“Itu cara tidak benar dan tidak adil. Walau aku memang pantas menjadi pemimpin, tapi aku tidak harus menggunakan cara yang tidak benar dan tidak adil untuk meraihnya. Aku tidak boleh ikut-ikutan memupuk keserakahan orang-orang yang berwenang dengan ambisiku. Bukankah selama ini aku telah berjalan pada ‘rel’ yang semestinya? Kenapa hanya karena sebuah jabatan, aku akan melenceng dari petunjukNya selama ini…. ?”
Begitulah perang batin yang ada dalam diri pak Wagiman, antara menginginkan sebuah jabatan yang lebih tinggi, malu dan tidak terima terkalahkan sesama teman yang sebenarnya tidak sehebat dirinya, keinginan untuk mendapatkan tunjangan lebih, keinginan baik untuk bisa menata dunia pendidikan sekolah di lingkup yang kecil, dan antara penyesalan mengapa tidak memperjuangkan lewat jalan belakang, sebagaimana banyak orang telah melakukannya. Selama ini ia tidak pernah mengikuti saran seorang teman yang telah jadi kepala sekolah agar mengambil ‘jalan belakang’. Walaupun ia telah memiliki banyak prestasi serta memiliki kecakapan dan kemampuan dalam memimpin, ia bisa tersingkir oleh peserta lain yang mengunggulinya dengan uang. Memang benar tidak semua peserta lolos , karena ‘uang’, ada juga yang lolos murni , karena prestasi. Akan tetapi ada kemudian yang mengambil ‘jalan belakang’…bisa-bisa ada yang sebenarnya lolos…malah jadi korban…
“Prestasimu itu akan tidak ada artinya, kalau ada uang yang bisa mengalahkanmu…”begitu temannya tersebut pernah mengingatkannya.
“Ah…aku masih percaya ada kejujuran diantara tim penilai itu, “ begitu jawabnya saat itu dengan penuh percaya diri. Namun jika akhirnya kenyataannya seperti itu…imannya bisa goyah juga….ia merasa telah terzalimi….
Hari itu pak Wagiman terasa linglung, semangat hidupnya seakan hilang. Makan tak enak, tidurpun tak nyenyak. Mimpipun…juga hanya mimpi buruk yang nongol…
“Pak…sudahlah…tidak usah terlalu disesali. Ibu percaya kalau bapak memang lebih pantas untuk menduduki jabatan itu. Tapi…mungkin ini sudah takdir, pak. Tidak boleh terlalu disesali…” begitu istrinya mencoba menenangkannya, ketika dilihatnya sang suami tampak ‘shock’ seakan kehilangan gairah hidup…
“takdir…takdir…tapi ‘kan kita juga diwajibkan berusaha…?”
“Bapak ‘kan sudah berusaha…aku lihat sendiri bagaimana perjuangan bapak menyiapkan diri menghadapi test pengangkataaan itu. Bapak menulis sendiri karya tulisnya. Orang lain, belum tentu hasil karya mereka sendiri. Berarti usaha bapak sudah maksimal…”
“Itulah yang kusesali…seharusnya aku tidak terlalu mempercayai kejujuran, seharusnya aku berusaha lewat jalan lain… aku menyesal…aku telah dikecewakan… aku tidak peduli lagi jalan apa yang seharusnya kutempuh…” karena kesal, kecewa, bercampur marah, membuat pak Wagiman seakan mulai kehilangan akal sehat serta prinsip positifnya selama ini…
“MasyaAllah, Pak ! bapak selama ini aku kagumi sebagai seorang pegawai negeri yang jujur, amanah dan berpotensi tinggi. Tapi karena menginginkan sebuah jabatan, bapak berubah menjadi orang lain di mataku. Masya Allah…istigfar, pak…walaupun bapak terjebak dalam lingkaran birokrasi yang rusak, tidak seharusnya kemudian kita ikut-ikutan ‘nyemplung jurang’!” Bu Wagiman tak sanggup menahan kesedihannya, melihat penyesalan pak Wagiman yang begitu dalam, sampai-sampai suami yang selama ini dikagumi karena kuatnya menjaga prinsip kebenaran, hampir terpuruk menanggalkan keimanannya, demi sebuah persaingan meraih sebuah jabatan yang lebih tinggi…
“Sudahlah, Pak. Untuk menenangkan pikiran bapak, bersilarurahmilah ke sahabat-sahabat bapak yang selama ini bapak percaya dapat membantu meringankan beban pikiran yang sekarang ini sedang bapak alami…
Ya…saran istrinya mungkin benar. Dengan bertemu teman-teman yang selama ini baik, siapa tahu hal tersebut dapat sedikit memberinya solusi atas masalah yang sedang dihadapinya…
Hari itu pak Wagiman berangkat dengan sepeda motornya menuju rumah salah seorang sahabatnya, pak Andri.
Pak Andri adalah seorang pengusaha ikan lele yang cukup sukses. Pak Andri dulu adalah siswa yang cukup pintar dan aktif di kelasnya. Dia selalu menduduki peringkat-peringkat atas. Pak Andri yang peringkat pertama, pak Wagiman peringkat kedua, kalau pak Wagiman yang peringkat pertama, pak Andri yang peringkat kedua…begitu mereka dulu kejar-mengejar prestasi di kelas…
Sebenarnya pak Andri juga pernah berkali-kali mengikuti penerimaaan CPNS, tapi selalu gagal. Apalagi ijasahnya hanya SMA. Akhirnya dia menyerah dan tidak lagi berminat menjadi pegawai negeri. Dia kemudian memilih belajar beternak lele dari seorang peternak lele yang sukses… dan akhirnya iapun mencoba bergerak dalam bidang tersebut, alhamdulillah berkat ketekunan dan kesabaranya, ia dapat menggantungkan hidup dari beternak lele dan budidaya beberapa tanaman obat. Pak wagiman dalam mengikuti test CPNS jauh lebih beruntung. Dia hanya mencoba mengikuti test dua kali, langsung diterima. Alhamdulillah waktu pak Wagiman mengikuti test tersebut, instansinya sedang dipimpin oleh seorang pemimpin yang jujur dan amanah, sehingga dia dapat diterima menjadi CPNS dengan murni berbekal kemampuan dan prestasi…
“He…apa kabar, Man.. tumben ingat lagi sama teman. Kemana saja akhir-akhir ini tidak pernah muncul…” sambut pak Andri begitu melihat kedatangan sahabat lamanya itu…
“Eh…baik…ya…aku kangen sama kamu. Aku ingat gayamu kalau lagi ‘eyel-eyelan’ sama aku…”
“Ha…ha..ha… ada-ada saja kamu. Ayo… silakan duduk!”
“Ah.. senang ya kamu…sudah sukses…”
“Ah…’kan lebih enak kamu. Pegawai negeri. Kerjanya santai..gajinya..tiap tahun selalu naik…tiap bulan, juga pasti ada yang bisa diandalkan…”
“Eh…bukannya malah kamu yang lebih enak…uang datang tidak mengenal tanggal. Kalau seperti aku ini…senangnya kalau pas tanggal muda…”
“Ha..ha..ha… aku saja pernah pengin seperti kamu…eh.. nggak kesampaian… tes bolak-balik… selalu gagal…kok kamu yang sudah lolos malah berkata seperti itu ?” kelakar pak Andri.
“Ndri, aku kemari , karena lagi ada masalah…”
“Eh…giliran ada masalah…baru mau kemari…” Pak Andri masih menanggapinya secara kelakar…
“Benar, aku lagi sedih. Aku temui kamu, karena aku percaya, kamu salah seorang temanku yang paling enak diajak curhat!”
“Ada apa sih, Man ? ‘kan kamu sudah memiliki semua,…lengkap…mapan…anak cakep-cakep, sehat, piter-pinter, semua dapat kuliah di perguruan tinggi favorit. Istri baik dan setia…apalagi ?”
“Jangan begitu, setiap orang pasti memiliki masalah. Dan masalahku kali ini kurasa cukup berat….”
“Hmm…apa masalahnya ?!”
“Mungkin kamu tidak tahu kalau beberapa waktu lalu aku mengikuti test pengangkatan kepala sekolah. Aku telah melalui prosedur yang benar. Bahkan nggak sombong, diantara peserta yang ikut test waktu itu, akulah yang memiliki prestasi terbanyak. Aku sudah merasa begitu optimis, bahwa aku akan termasuk menjadi salah satu guru yang akan diangkat menjadi kepala sekolah. Tapi nyatanya…aku gagal. Rasanya shock sekali, apalagi ketika aku tahu, ada salah seorang guru yang selama ini prestasinya cukup buruk, malah lolos…coba bayangkan…betapa terpukulnya aku menerima kenyataan itu…” Pak Wagiman seakan tidak kuat untuk kembali mengingat permasalahannya…
“Ehm…ya..ya…aku percayaa..aku sangat mengenal kamu dengan baik. Tapi…bersabarlah menerima kenyataan ini, karena segala sesuatu tidak akan terjadi, tanpa ada ijin dari Allah. Mungkin Dia sedang menguji kekuatan imanmu. Sabarlah…semua ini pasti ada hikmahnya…”
Pak Wagiman menghela nafas panjang. “Gampang memang berkata begitu. Tapi coba kalau kejadian itu menimpa diri sendiri, belum tentu juga semudah itu menghadapinya…” begitu pikirnya…
“Ya sudah…kalau begitu agar kamu lebih bisa menerima kegagalanmu, temuilah orang-orang yang kamu rasa lebih kurang beruntung dibanding kamu.” Begitulah akhirnya saran pak Andri pada pak Wagiman setelah berbagai masukan ia coba berikan, tapi tampaknya sahabat lamanya itu belum juga bisa menerimanya…
Pak Wagiman setuju dengan saran temannya tersebut. Tapi kepada siapa ia akan mencoba temui ? Ah… ia ingat …ia pernah mengenal seorang kuli bangunan yang bekerja padanya. Laki-laki itu menurutnya cukup hebat. Seorang kuli bangunan yang menderita sakit sesak nafas yang dapat kambuh sewaktu-waktu, tapi tetap saja dapat bekerja berat mulai pagi sampai sore, tanpa mengenal lelah. Hebatnya lagi, pernah ia bekerja pada pak Wagiman di bulan Ramadhan. Laki-laki itu ternyata juga tetap ikut puasa Ramadhan, walaupun pekerjaannya sangat berat, di bawah terik matahari yang membakar, yang sanggup menghanguskan kerongkongan. Mereka yang tidak terus menerus di bawah terik matahari saja tak kuasa menahan dahaga, coba bayangkan…luar biasa…puasa pak Bejo sungguh jauh lebih berat daripada puasanya mereka-mereka yang bekerja di tempat teduh..apalagi ditambah AC lagi…
“Wah…wah…laki-laki langka di jaman ini. Disaat manusia-manusia lain pada manja, berpacu memperebutkan surga dunia dan akherat sekaligus, pak Bejo, tidak mau enaknya sendiri. Dia rela melepaskan keindahan dan kebahagiaan duniawi, karena takut dan tunduknya pada sang Pencipta. Kalau tidak takut dan tunduk pada Allah, untuk apa harus repot-repot menahan haus dan lapar yang melemahkan tubuh dan tulang, wong tanpa puasa saja hidup sudah banyak beratnya. Lagipula yang menganugerahinya profesi tersebut juga Tuhan. Kalau mau protes…untuk apa orang lain yang ongkang-ongkang enak enakan itu diwajiban puasa…sedang ia yang sehari-hari sudah menghadapi hidup yang berat dan sudah terbiasa menahan haus dan lapar juga harus diwajibkan puasa ?!!
“Gila..aku harus berguru pengalaman pada pak Bejo. Ia adalah salah seorang yang memiliki kekuatan luar biasa dalam menghadapi kerasnya hidup. Walau secara pendidikan formal dia tidaklah memiliki ijasah apalagi gelar apapun, tapi dia memiliki kepintaran dari sisi tertentu yang belum tentu dimiliki oleh orang-orang pintar dan terhormat di negeri ini…” begitu pak Wagiman berpikir dalam hati. “Aku harus menemuinya, siapa tahu ia dapat memberiku pelajaran yang dapat kuambil hikmahnya!”
Hari itu pergilah pak Wagiman mencari pak Bejo. Seorang kuli bangunan yang pernah ikut membantu membangun rumahnya.
“Lho, pak Wagiman, ada apa, Pak ?” Pak Bejo tampak kaget melihat kedatangan pak Wagiman. Pak Wagiman selama ini tidak pernah datang ke rumahnya. Kalau ada perlu untuk memperbaiki rumah, pak Wagiman tidak langsung menemuinya, tapi ke tukang dulu. Si tukang baru kemudian yang menghubunginya. Kok hari itu tumben sekali, pak Wagiman langsung datang ke rumahnya..
“Hanya ingin silaturahmi saja kok, pak!” Pak Wagiman kalem berbicara sambil tersenyum. Sedang pak Bejo masih mengerutkan kening, karena belum hilang rasa herannya…
“Pak Bejo, saya ini termasuk orang yang cukup kagum dengan kesabaran pak Bejo…” terang pak Wagiman setelah ia dipersilakan duduk di ruang tamu yang sangat sederhana, dindingnya terbuat dari kayu dan tampak cat kapurnya sudah mulai usang warnanya. Ruang tersebut terbuka bergabung dengan ruang keluarga dan ruang makan. Lantainya juga hanya tanah…
“Ah…pak Wagiman ada-ada saja… tidak usah memuji saya seperti itu, pak… saya takut malah jadi sombong,” kata pak Bejo setengah bercanda.
“Ya pak…sungguh, saya tidak mengada-ada . pak Bejo seperti tidak ada beban menghadapi hidup..ringaan saja… bahkan aku sering tahu pak Sukir…lha wong dia itu tukangnya, upahnya lebih banyak dari pak Bejo kok malah dia yang sering ngutang upahnya pak Bejo. Dan pak Bejo kulihat seperti orang yang tidak pernah butuh duit saja. Selaluuu saja uang pak Bejo diutangkan pada pak Sukir… itu lho, pak salah satunya yang membuat aku kagum. Disaat orang lain pada kranjingan… memprimadonakan uang…eh…kok malah pak Bejo…kayaknya santaiii saja.. nggak kagum gitu sama uang…”
“He..he..he…pak Wagiman ada-ada saja… pak Sukir itu banyak kebutuhannya, Pak. Lain sama saya. Saya kendaraan ‘kan cuma sepeda pancal, jadi tidak perlu mikir beli bensin, sedang pak Sukir pakai sepeda motor, selain beli harus beli bensin, ganti oli, dan untuk ganti suku cadangnya ‘kan lebih mahal sepeda motor daripada sepeda pancal. Nah… itu salah satunya, pak… pokoknya saya sangat berbeda dengan pak Sukir, saya tidak banyak mempunyai kebutuhan, saya juga tidak punya banyak barang yang saya miliki, sehingga saya tidak terlalu membutuhkan banyak uang untuk merawat barang-barang yang saya miliki. Semuanya yang penting bisa menunjang kami tetap bisa hidup. Kalau soal uang…semua orang butuh uang, pak… tapi saya tidak menggantungkan diri saya pada uang. Bagi saya, buat apa pegang uang banyak, kalau hati tidak tenang, badan sakit… kami sekeluarga hanya butuh makan minum secukupnya, sehat selamat, anak-anak bisa sekolah dengan baik… kalau akhirnya nanti tidak dapat meneruskan sekolah, ya… tidak apa-apa, yang penting nantinya mereka tidak kelaparan, dan selamat hidupnya dunia-akherat…”
“Tapi, pak… bukankah itu semua …makan…minum…sekolah…semuanya juga harus menggantungkan uang ‘kan, Pak?”
“Tidak selalu, pak. Saya hampir tidak pernah memegang uang, pak… tapi saya selalu percaya gusti Allah akan memberi kita jalan, kalau kita memintanya. Ketika saya lagi membutuhkan uang untuk biaya anak saya..entah mengapa tiba-tiba ada rejeki, yang nawari serabutan..atau tiba-tiba ada yang bisa di jual dari hasil tanaman yang tumbuh di halaman itu…. yah… jadi saya tidak takut menghadapi hidup. Saya tidak takut, kalau tidak pegang uang kemudian mati kelaparan, karena saya percaya pada gusti Allah yang akan mengurus makhluk-makhluk ciptaanNya… saya hidup hanya menggantungkan diri padaNya… bukan pada uang atau yang lainnya…”
“Luar biasa prinsip hidup pak Bejo. Tapi tidakkah kadang ada ketakutan juga ?”
“Pernah juga… tapi kembali saya meyakinkan diri dengan janji Gusti Allah. Dan memang tenyata benar… Gusti Allah selalu menolong kita disaat yang tepat, kalau kita mau selalu mempercayai dan memohon padaNya…”
“Tapi… ah…saya tidak dapat membayangkan bagaimana bisa hidup tanpa memegang uang…”
“Pak…rejeki itu bukan hanya uang bentuknya… tapi ketika kami lapar, ternyata ada yang mengirim kami makanan, dari kelebihan hasil panen tetangga…tasyakuran karena dapat rejeki…atau kalau pas tidak ada lauk, kami punya ayam, atau mancing di sungai… dapat ikan, sayurnya…. Itu banyak kangkung, bayam.. tumbuh liar di sawah, ladang, bahkan di halaman depan yang sempit itu juga ada tomat, cabe… semuanya tumbuh subur, sehingga kami sudah tercukupi oleh gusti Allah dengan alam sekitar kami.”
“tapi, pak.. apa pak Bejo tidak ingin beli barang-barang seperti televisi, sepeda motor… seperti orang-orang lain itu ?”
“Ah… pak.. saya tidak menginginkan sesuatu yang bukan menjadi jatah saya. Gusti Allah sudah menjatah saya hidup di dunia demikian, saya sudah alhamdulilah sekali. Ada radio itu kami sudah sangat senang. Televisi untuk pa, pak… kalau yang dipertontonkan di TV itu pada polahe nggak karu-karuan… saya malah takut dosa… “
“Tidak ingin lihat berita…berita begitu , Pak ?”
“Ah…untuk apa saya melihat berita…malah pusing saya…banyak berita macem-macem… tapi negara juga tetap saja seperti ini…”
“Apa pak Bejo takut tergoda tayangan-tayangan di televisi yang menawarkan barang-barang indah macam-macam itu ?”
“Tidak, pak… saya tidak pernah melihat sesuatu yang indah selain dapat hidup, sehat dan selamat di tengah-tengah keluarga. Hal-hal seperti itu tidak mempengaruhi saya dan keluarga sama sekali. Terlalu memikirkan kesenangan, hanya akan menganggu ibadah kami pada Gusti Allah…”
Luar biasa…hebat sekali…seorang kuli bangunan, tidak bersekolah, miskin, pakaian cuma satu..dua..penyakitan..ternyata memiliki pandangan bijak yang mampu mengalahkan akal sehat banyak pejabat tinggi dan orang-orang pintar yang suka korup di negeri ini. Hati pak Wagiman menjadi tenang dan sejuk. Alangkah indahnya hidup keluarga pak Bejo, mereka tidak resah karena silau melihat gemerlap duniawi. Mereka bahkan merasa bahagia, karena keadaan sulit yang mereka hadapi bisa mendorong mereka lebih dekat kepada Tuhan yang Maha Esa…
“Tapi, pak… apakah tidak pernah terpikirkan oleh pak Bejo untuk bekerja yang lebih tinggi… naik jadi tukang seperti pak Sukir begitu ?”
“Ah… tidak, pak…menjadi orang yag semakin tinggi jabatannya… yang dipikirkan lebih banyak, tanggung jawabnya juga lebih besar… saya menikmati pekerjaan saya menjadi kuli, karena tidak banyak tanggung jawab saya… jadi pikiran saya sangat tenang dengan pekerjaan yang telah di berikan gusti Allah ini pada saya…”
Alhamdulillah, hari itu pak Wagiman telah mendapat pelajaran dari pak Bejo. Akan tetapi rasanya ia belum puas, ia ingin menemui orang yang kelihatannya lebih menderita daripada pak Bejo.
Ada seorang wanita tua yang memiliki ujian berat dengan dua anaknya yang cacat fisik dan mental. Kedua anak laki-laki dan perempuannya itu lumpuh dan memiliki keterbelakangn mental sampai dewasa. Wanita tua yang sudah di tinggal mati suaminya itu, hanya merawat sendiri kedua anaknya tersebut, dengan sedikit bantuan dari tetangganya. Pak Wagiman ingin menemui wanita itu. Ia ingin mengetahui bagaimana perasaan wanitaa yang miskin dan harus hidup dengan ujian yang begitu berat….
“Monggo, Pak!” Wanita itu mempersilakan pak Wagiman duduk di kursi bamboo reot yang ada di teras rumahnya...
“Ma’af bu, saya mengganggu. Bisa ngomong-ngomong sebentar, bu ?”
“O..iya, pak.. tapi sebentar nggih..anak perempuan saya pipis di celana. Saya salini sebentar, ya?’ ijin wanita itu pada pak Wagiman untuk merawat anaknya dulu..
“O..monggo..silakan , Bu…” wanita tua yang jalannya sudah tertatih-tatih itu berjalan lagi kedalam rumahnya yang sempit, terbuat dari bambu dan berlantaikan tanah. Rumahnya hanya terdiri dari satu ruangan. Ruang tersebut adalah ruang serba guna, untuk ruang keluarga, ruang makan, dan kamar tidur sekaligus. Untuk menerima tamu, biasanya di teras, dan untuk dapurnya, ada teras di belakang yang ditutup dengan ‘gedhek’ (lembar anyaman dari bambu) dan kamar mandi yang terbuka di belakang.
Pak Wagiman mencoba melongok kedalam, ketika wanita tua itu mengganti pakaian dan celana anaknya yang basah oleh air pipis..
“MasyaAllah…sabar sekali wanita itu…sudah tua, miskin, harus diuji dengan anak-anak yang cacat. Sungguh luar biasa penderitaannya…” begitu pikir pak Wagiman mengagumi kesabaran wanita tua yang mendapat ujian berat dari Tuhan tersebut.
“Bu…ujian ibu berat sekali…ibu tidak merasa lelah ?” begitu pak Wagiman membuka percakapan ketika wanita itu kemudian menemuinya di teras .
“Ya.. kadang terasa lelah juga, pak… tapi karena sudah menjadi kegiatan sehari-hari.. lama-lama jadi terbiasa… apalagi… saya melakukannya karena dasar kasih sayang saya pada anak-anak saya… jadi lelah itu hilang, ketika melihat mereka dapat saya rawat dan dampingi dengan baik.”
“Ibu tidak pernah menyesal Tuhan menganugerahi ibu anak-anak yang membebani ibu sampai usia seperti ini ?” wanita tua itu kemudian meneteskan air mata mendengar ucapan pak Wagiman…
“Tidak, Pak. Saya justru bersyukur gusti Allah telah memberi saya anak-anak yang baik. Benar mereka tidak seperti anak-anak yang normal lainnya, tapi mereka adalah anak-anak yang tidak pernah menyusahkan saya…”
“Tidak menyusahkan ?! Lho…bukankah ibu harus dibuat repot merawat mereka sampai usia tua ?”
“Tidak, pak. Mereka tidak merepotkan saya. Mereka sangat baik dan penurut. Walau mereka tidak dapat menghasilkan apa-apa, menggantungkan diri pada saya, tapi itu semua bukan kehendak mereka. Gusti Allah yang telah menakdirkan mereka jadi demikian. Jadi sudah menjadi kewajiban saya untuk menunjukkan kecintaan saya pada gusti Allah, dengan merawat anak-anak pemberian dariNya…”
“Apakah ibu pernah berpikir..ma’af…bagaimana kalau suatu saat mereka harus ibu tinggal ? siapa yang akan merawatnya ?”
“Saya selalu berdo’a pada gusti Allah untuk melindungi anak-anak saya. Jadi saya percaya saja, kalau saya meninggal, pasti gusti Allah mencarikan jalan terbaik untuk anak-anak saya..”
“Wah..ibu hebat sekali.. tapi….pernah… tidak menyesal ketika melihat anak-anak lain pada pergi sekolah..pinter-pinter…”
“Penyesalan itu sudah saya kubur dalam-dalam setelah saya dan suami saya menyadari bahwa gusti Allah ternyata telah memberi kami anak-anak yang terbaik…”
“Terbaik??” Pak Wagiman mengernyitkan kening tak dapat menerima maksud perkataan wanita tua itu....
“Ya..pak…mungkin Gusti Allah tahu, kalau kami pasangan suami istri yang bodoh dan miskin. Kalau kami di beri anak-anak yang sehat. Gusti Allah mungkin takut kami tidak bisa mendidik anak-anak kami dengan baik dan benar. Sedangkan kami semua, baik orang tua maupun anak-anak kami, kelak harus mempertanggung jawabkan perbuatan kami di hadapan gusti Allah. Walau orang lain melihat kondisi anak-anak saya memprihatinkan.. tapi saya juga bersyukur… mereka tidak menyusahkan saya . bahkan banyak orang-orang yang di paringi gusti Allah anak-anak yang sehat dan pinter-pinter… tapi malah ada yang suka berjudi, mengunjungi wanita-wanita nakal, atau jadi wanita nakal, tawuran, mbohongi orang....dan katanya dengar-dengar sekarang ini banyak orang-orang pinter yang sudah kaya dan punya jabatan, malah pada minteri bangsanya sendiri..”
“Minteri bangsanya sendiri ?”
“Ya..pak.. sudah pada pinter-pinter.. sekolah tinggi… ketika sudah pinter tidak digunakan untuk membangun negaranya, ‘gelem’ mbagi kesejahteraan dengan wong-wong cilik…eh…kok malah katanya pada ‘bancaan’ uang rakyat…. Apa ada, Pak… yang mau peduli sama nasib orang-orang seperti saya. Keinginan kami tidak muluk-muluk kok, pak.. yang penting kami dapat makan, tidak terlalu kenyang tidak apa-apa, asal anak-anak saya tidak kelaparan. Tapi.. harga-harga kok pada mahal”
:”Lho.. harga-harga barang seperti televisi, sepeda, pakaian… dan lain-lainnya pada malah semakin murah lho, bu…”
“Kami orang miskin tidak membutuhkan barang-barang seperti itu. Itu kebutuhan orang-orang kaya. Barang kebutuhan untuk orang-orang miskin, pak yang disambatkan banyak orang… untuk makan…” wanita tua itu tampak kembali menitikkan air mata. Ia menangis bukan menangisi takdir Tuhan, tapi memikirkan ulah manusia yang membuat kebutuhan sehari-hari yang dibutuhkan orang-orang miskin….serasa menjerat leher. Pak Wagiman berpikir, memang benar kalau banyak orang pinter jaman sekarang tidak berjuang untuk kepentingan bangsa dan Negara seperti orang-orang pinter yang jaman dulu yang kita punyai. Mereka gunakan kepinteran mereka untuk memperjuangkan kepentingan bersama walau harus mempertaruhkan segalanya. Orang pinter sekarang hanya terbuai oleh empuk dan nikmatnya kekuasaan, harta bahkan wanita. Pertanyaannya, adakah yang mau menahan diri untuk tidak mengambil uang Negara demi kesejahteraan orang-orang seperti wanita tua ini ? jangankan mau mempertaruhkan jiwa, raga dan harta sebagaimana para pendahulu kita memperjuangkan kemerdekaan ini, keluar uang pribadi untuk kepentingan bangsa dan negara se sen saja, ‘uemaaan tenan’. Kok enak… kalau bisa ya… uang rakyat bisa masuk ke kantong pribadi…soal wong-wong cilik pada ‘melet-melet’… urus sindiri nasibmu….Ah….
“Benar, pak itulah sebabnya saya tidak sedih mempunyai anak-anak yang tidak pinter, saya kuatir mereka malah jadi keblinger dan ikut-kutan orang yang nggak bener. “ celetuk wanita itu seakan dapat membaca hati pak Wagiman.
“tapi ‘kan lebih baik kalau pinter dan juga bener, ya Bu ?”
“Orang seperti saya tidak membutuhkan orang pinter… tapi orang – orang yang memiliki rasa kasih sayang dan belas kasihan pada sesama…”
Benar juga wanita tua itu. Untuk apa pada pinter, kalau hanya minteri orang lain. masyaAllah… ibu itu benar. Pak Wagiman merasa tersindir secara tidak langsung. Ia sempat goyah imannya. Hampir saja ia menggunakan cara tidak benar agar dapat menduduki jabatan yang lebih tinggi. Nah… bisa dibayangkan… berapa banyak uang BOS yang akan ia makan untuk mengembalikan modalnya meraih jabatan tersebut. Dan kalau nanti sudah balik modal, ketika merasakan enaknya ‘ngenthit’ uang rakyat …pasti nanti akan nagihi, jadi ‘angel mendeg’ ah… astagfirullah…hati pak Wagiman mulai terasa lapang… rasa syukur menyelimuti hatinya… malu rasanya sama pak Bejo dan wanita tua itu. Ia yang sudah mapan dan memiliki segalanya, gaji tetap, makan tidak pernah kurang, anak istri sehat, pintar dan baik. Iapun juga sehat dan pintar, ternyata masih saja bersedih hati, gara-gara menginginkan sesuatu yang lebih daripada yang Tuhan telah berikan. Betapa tidak tahu dirinya dia. Ah… sungguh dangkal pemikirannya selama ini, kalau memandang sesuatu hanya keatas… sungguh… dengan melihat lebih bijak ke semua arah, kita akan lebih bisa mensyukuri karunia Allah pada kita…ah… benar ternyata, kalau silaturahmi dapat memperpanjang umur…
“Ah… aku tidak mau lagi merekayasa nilai… seperti ini!” hari itu di ruang guru, pak wagiman kembali mendengar bu Siti ‘ngersulo’ soal nilai…
“Ada apa, bu… lha wong begitu saja… tinggal di buat… dikarang…ditulis… nggak pakai banyak tenaga dan otak saja, kok…” celetuk pak Andi menimpali keluh kesah bu Siti.
“Eh…enak saja nggak pakai otak… pusing ini…. kasihan sama anak yang lumayan pintar dan rajin, nilainya jadi sama dengan anak yang males, gara-gara biar semua dapat naik kelas, harus dinaikkan ke standar minimal KKM…”
“Ah… kita ini pegawai cilik tidak mampu berbuat apa-apa, kalau peraturannya sudah begitu…. Ya mau tak mau harus mau… “
“Harus mau ikut rusak, begitu maksudnya ?” timpal bu Siti agak sewot.
“Eh…bu…manipulasi nilai lagi , ya ?” pak Wagiman ikut nimbrung.”Awas lho…kalau besuk di akherat diseret malaikat …”
“Eh… kalau aku yang di seret malaikat, aku ya nyeret wakil kepala sekolah.. yang nyuruh dia kok…”
“Lho…wakil kepala sekolah juga ada yang nyuruh lho…”
“Siapa ? Kepala sekolah… ya biar wakil kepala sekolah , yang nyeret kepala sekolah… kalau kepala sekolah juga nggak terima… biar dia cari yang mau di seret… biar panjang seret-seretannya…” walau agak kesal, bu Siti masih mau menanggapinya dengan canda…
Pak Wagiman bergidik ngeri mendengar canda bu Siti yang dirasanya kembali seolah menyindir dirinya. Benar juga, menjadi kepala sekolah tentu memiliki tanggung jawab lebih besar atas segala sesuatu yang tidak benar yang terjadi pada kelahiran generasi bangsa, dibanding guru. Guru berada pada posisi terlemah dalam menjalankan peraturan pendidikan. Mereka selain pelaksana terendah, juga bisa termasuk menjadi korban. Karena banyak hal dalam dunia pendidikan yang banyak bertentangan dengan kehendak hati nurani guru. Coba bayangkan. Sekarang ini diterapkan standar nilai minimal KKM yang tinggi. Siswa-siswi diharuskan melampauinya. Bayangkan saja ‘polahe’ banyak guru yang murid-muridnya sebagian besar dari keluarga kurang mampu dan kurang merasakan pentingnya bersekolah. Lha wong selama ini dengan standar nilai 60 saja sudah pada pasang alat ‘katrol’ nilai, kok sekarang dipaksakan untuk harus lulus dengan nilai 65 bahkan 70. bukankah itu sama juga bohong ? guru harus menggenjot mereka agar mencapai semua ? nggak mungkinlah hasilnya maksimal…materi yang dituntut pemerintah terlalu berlebihan. Guru yang langung berhadapan dengan anak didik nggak akan ‘mentolo’ membiarkan anak-anak didiknya tinggal kelas hanya untuk materi pelajaran yang kemungkinan besar tidak akan mereka temui apalagi pakai dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya, mereka memilih jalan manipulasi untuk menolong anak-anak didiknya dengan mengatrol nilai mereka. Tapi…mungkin kemudian ada yang berkomentar…
” Guru sekarang tidak dapat dipercaya, mereka terlalu lemah… tidak seperti guru jaman dulu yang disiplin, kalau anak tidak mampu ya…tidak dinaikkkan atau di luluskan… sehingga hasilnya generasi-nya… ya…benar-benar hebat… coba guru sekarang…nggak bisa apa-apa juga tetap dinaikkan atau diluluskan… paling-paling yang tidak dinaikkan atau tidak di luluskan yang bandel-bandel saja…”
Eh…belum tahu beratnya jadi guru. Sebagai pendidik, guru pasti saja sangat ingin menghasilkan generasi-generasi bangsa yang bertakwa pada Tuhan, cerdas, jujur, disiplin, santun, amanah, kreatif dan mandiri. Akan tetapi dalam proses belajar mengajar, guru-guru dihadapkan pada materi yang harus disampaikan pada anak didik, seakan hanyalah materi yang berupa formalitas, bukan pelajaran-pelajaran yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Coba kalau materi yang dituntut pemerintah untuk matematika misalnya, dengan melihat fakta bahwa dalam kehidupan sehari-hari setiap orang hanya akan berhadapan dengan masalah penambahan, pengurangan, perkalian dan pembagian, maka penekanannya haruslah menguasai ilmu tersebut, tanpa dituntut menguasai rumus yang berbelit (Kecuali untuk yang benar-benar sudah mengambil jurusan matematika) dan tidak ketahuan besuk mau digunakan untuk apa dalam realita hidupnya, maka guru yang tahu siswanya mengalikan 6x6 atau 8x8 saja tidak bisa, dan guru menganggap akan membahayakan hidup sehari-hari siswa jika dinaikkan kelas, otomatis guru tidak akan menaikkan atau meluluskan dengan sendirinya. Lain halnya kalau guru melihat materi yang dituntut pemerintah hanya akan berguna bagi ahli matematika, akal sehat guru yang berbicara… tidak menguasai matematika dengan rumusnya yang macem-macem itu juga nggak ada salahnya… mau dipakai apa ? Anak mau diminta mengulang-ulang sekolah yang menghabiskan waktu, tenaga, pikiran dan uang…hanya untuk ilmu yang belum tentu mereka pakai … belum lagi kalau sampai stress…eh…malah ngrusak masa depan anak orang…. jadi… itulah kemudian yang memicu guru untuk memilih sebuah kebijakan sendiri, yaitu memanipulasi nilai. Sebuah manipulasi yang mulia bukan ? akan tetapi manipulasi…tetap manipulasi, apapun bentuknya dapat berdampak buruk bagi kemajuan bangsa dan Negara. Oleh karena itu yang perlu dirubah haruslah system dalam dunia pendidikan. Sekolah harus merupakan sebuah tempat pendidikan yang menyiapkan generasi yang mampu memenuhi segala kebutuhan bangsa dan Negara ini untuk melakukan hal-hal yang benar dalam hidup yang sebenarnya. Bukan pendidikan yang sekedar formalitas, karena hidup adalah nyata, bukan formalitas….ah…pak Wagiman jadi bersyukur, Tuhan telah menjauhkannya dari amanah mempertanggungjawabkan hasil pendidikan dinegeri ini… menjadi guru mungkin sedikit lebih aman daripada menjadi kepala sekolah…kalau sistemnya masih seperti ini…
“Bapak… bapaknya Rina ternyata di angkat jadi kepala sekolah juga… ah…aku jadi malu sama Rina, Pak…” Tika anak pak Wagiman yang sekolah di SMU kelas 11 itu mengeluh sesal karena ayah sahabatnya dapat berhasil naik pangkat, sedangkan bapaknya sendiri tidak…
Alhamdulilah… penyesalan Tika justru membuat pak Wagiman kembali bersyukur… ternyata dia dan keluarganya juga telah dihindarkan oleh Allah SWT, dari dosa riya’….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar